Latar belakang

Situs web ini mengumpulkan untaian kisah anak-anak Timor Leste dan orangtua mereka, yang mengungkapkan pengalaman keterpisahan dan pengiriman (transfer) mereka selama masa pendudukan Indonesia atas Timor Leste.

Menurut perkiraan, antara tahun 1975 dan 1999 ada sekitar 4.000 anak Timor Leste yang masih kecil yang dibawa (transfer) ke Indonesia. Telah banyak buku dan artikel surat kabar yang ditulis tentang kondisi politik dan sosial Timor Leste selama periode ini, tetapi tidak banyak yang kita ketahui tentang pengalaman anak-anak tersebut.

Anda mungkin bertanya-tanya, “Mengapa kami tidak pernah mendengar tentang transfer anak-anak ini di media?” Atau, Anda mungkin saja berpikir, “Pasti orang-orang yang membawa anak-anak itu melakukannya semata-mata karena mereka ingin membantu anak-anak tersebut.”

Atau malahan pada saat membaca kumpulan cerita di situs web ini, Anda menyadari bahwa ini juga cerita Anda. Apakah Anda tinggal di Indonesia, tetapi sering bertanya-tanya tentang latar belakang Anda yang sebenarnya? Apakah Anda memiliki ingatan akan masa kecil di tempat lain?

Cerita-cerita yang akan Anda baca di sini memberikan penjelasan singkat tentang hubungan antara orang Indonesia dan orang Timor Leste selama periode tersebut di atas dan membantu kita memahami mengapa transfer anak-anak ini terjadi.

Pertanyaan:

  • Bagaimana keadaan di Timor Leste antara tahun 1975 dan 1999?

  • Berapa banyak anak yang dikirim ke Indonesia?

  • Siapa yang mengambil anak-anak itu dan mengapa?

    • Anak-anak yang diambil untuk diadopsi

    • Anak-anak yang dikirim ke lembaga-lembaga

  • Apakah pemindahan anak diizinkan oleh pihak berwenang?

  • Apa yang terjadi pada anak-anak di Indonesia?

  • Di mana anak-anak hari ini? Melacak anggota keluarga yang hilang

  • Apakah pemindahan tangan seperti ini terjadi juga di tempat lain dan mengapa?

Bagaimana keadaan di Timor Leste antara tahun 1975 dan 1999?

Bagian ke-3 Laporan CAVR Chega! adalah penjelasan sejarah yang menyeluruh tentang konflik antara Timor Leste dan Indonesia, dengan latar belakang singkat tentang masa penjajahan Portugis. Baca

CAVR (A Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação) adalah Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor-Leste.

Dapat dibaca juga di sini.

Dahulu Indonesia dijajah oleh Belanda, sampai kemerdekaannya pada tahun 1945. Timor Leste pada masa itu merupakan koloni Portugis. Pada tahun 1974, menyusul revolusi tak berdarah di Portugal, para pemimpin baru di sana memutuskan bahwa koloni-koloni mereka harus dimerdekakan. Saat itu adalah masa Perang Dingin dan Indonesia, begitu juga negara-negara Barat lainnya, merasa khawatir apabila setelah Timor Leste merdeka, negara baru tersebut akan menjadi negara komunis. Untuk mencegah hal ini pihak militer Indonesia menyerang Timor Leste pada akhir tahun 1975. Namun, pasukan Fretilin Timor Leste melawan balik.

Perang militer habis-habisan terjadi selama beberapa tahun sampai perlawanan Fretilin Timor Leste dikalahkan oleh tentara Indonesia. Akan tetapi, para pemimpin Indonesia membantah bahwa mereka melangsungkan aksi militer di sana. Mereka juga menyatakan bahwa kebanyakan orang Timor Leste mendukung integrasi.

Pada saat yang sama, sejumlah pemimpin Indonesia percaya bahwa pembangunan yang mereka lakukan di Timor Leste akan memenangkan hati penduduk sehingga mereka setuju untuk bergabung dengan Indonesia. Namun, pemerintahan militer Indonesia, di bawah rezim Orde Baru, memerintah dengan kejam dan banyak melakukan pelanggaran hak azasi manusia (HAM), terutama terhadap mereka yang menolak integrasi.

Sejak tahun 1983, perlawanan terhadap Indonesia diatur ulang di bawah pimpinan Xanana Gusmao. Gerakan bawah tanah mulai muncul di berbagai kota besar dan kecil di Timor Leste maupun di Indonesia. Kian lama makin banyak kaum muda yang bergabung dengan gerakan rahasia guna menentang integrasi dengan Indonesia, meskipun mereka telah dididik oleh pemerintah Indonesia dan diberi kesempatan yang tidak mereka dapat selama masa penjajahan Portugis.

PBB tidak pernah mengakui keabsahan integrasi tersebut. Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, rezim Indonesia yang baru menawarkan referendum kepada rakyat Timor Leste, yang nantinya diorganisasi oleh PBB. Pada tahun 1999 rakyat Timor Leste memilih menolak integrasi dengan Indonesia, dan pada tahun 2002 Timor Leste menjadi sebuah negara baru.

Segera setelah pemungutan suara, tentara Indonesia dan milisi Timor Leste yang mereka latih merasa marah atas penolakan integrasi sehingga mereka mengamuk, melakukan pembunuhan dan perusakan. Mereka juga memaksa sepertiga penduduk untuk meninggalkan Timor Leste; kebanyakan dari mereka dipaksa melewati perbatasan menuju Timor Barat.

Kronologi

Berapa banyak anak yang dikirim ke Indonesia?

Pada tahun 2006 seorang perwakilan PBB yang mengurusi masalah pengungsi (UNHCR) memberikan informasi kepada CAVR bahwa antara tahun 1975-1999 ada 4.534 anak Timor Leste yang masih kecil yang dipindahkan ke Indonesia (Laporan CAVR Bagian 7.8.4.1 No. 353).

Sekitar separuh dari anak-anak itu diambil secara perorangan—khususnya tentara Indonesia dan pegawai negeri sipil Indonesia. Anak-anak tersebut diambil dari Timor Leste antara tahun 1975 sampai awal 1980-an, selama terjadi perang.

Separuh lainnya dikirim ke instansi pemerintah, swasta dan keagamaan di Indonesia. Praktik ini terus terjadi sepanjang masa pendudukan Indonesia.

Selain itu, banyak anak Timor Leste yang lebih tua yang dikirim untuk belajar di Indonesia. Dalam kasus ini, mereka tetap menjalin hubungan dengan keluarga mereka, tidak seperti anak-anak yang lebih kecil, yang menjadi fokus di sini.

Siapa yang mengambil anak-anak itu dan mengapa?

Anak-anak yang diambil untuk diadopsi

Tentara dan pegawai negeri sipil Indonesia secara perorangan mengambil anak-anak Timor Leste untuk mereka adopsi sendiri atau diberikan kepada keluarga lain. Sebagian besar anak ini diambil dari Timor Leste antara tahun 1975 sampai awal 1980-an ketika terjadi perang antara tentara Fretilin dan tentara Indonesia.

Saat itu ada banyak anak yang terpisah dari keluarga mereka dan terlantar akibat perang. Kadang-kadang prajurit dan pegawai negeri sipil Indonesia menemukan anak-anak tersebut seorang diri tanpa ada orang yang merawat. Jadi, mereka membawa anak-anak itu pulang ke Indonesia pada akhir masa jabatan mereka di Timor Leste.

Setelah sekelompok orang Timor Leste menyerah atau ditangkap, pihak militer Indonesia memaksa mereka untuk hidup bersama di kamp-kamp (yang disebut oleh penghuninya sebagai ‘kamp konsentrasi’). Memang di antara penghuni kamp sering dijumpai anak-anak yang terpisah dari keluarganya. Namun, sejumlah tentara juga memaksa para orangtua yang tinggal di sana untuk menyerahkan anak-anak mereka sehingga mereka biasanya merasa tidak punya pilihan lain. Para orangtua itu juga diminta menandatangani perjanjian adopsi dengan pihak tentara, yang acap kali bertentangan dengan keinginan mereka. Apalagi sering kali mereka tidak paham isi perjanjian yang mereka tandatangani.

Banyak prajurit dan pegawai negeri sipil mengambil, lalu mengasuh anak-anak tersebut karena mereka merasa kasihan pada anak-anak yang terpisah dan terlantar itu. Namun, ada juga alasan politis di balik bantuan yang ditawarkan. Dengan membawa seorang anak kembali ke Indonesia, tentara-tentara tersebut ingin menunjukkan keberhasilan misi nasionalis mereka di Timor Leste: rakyat Timor Leste menghendaki integrasi dengan Indonesia dan ingin agar anak-anak mereka dididik di Indonesia. Selain itu, para tentara tersebut juga memiliki alasan pribadi mengapa mereka menginginkan seorang anak dari Timor Leste: beberapa di antara mereka tidak punya anak sendiri atau mereka menginginkan anak dari jenis kelamin tertentu.

Beberapa orangtua setuju untuk memberikan anak mereka kepada orang Indonesia yang berjanji akan mengembalikan anak-anak itu setelah mereka menamatkan pendidikan di Indonesia. Selama konflik banyak orangtua yang merasa tidak mampu memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Memang, ada juga yang berpikir bahwa menyerahkan anak mereka ke tangan orang Indonesia adalah cara untuk memastikan bahwa setidaknya salah satu anggota keluarga mereka selamat. Namun, mereka merasa kecewa karena tentara atau orang yang membawa anak-anak mereka itu tidak menepati janji untuk mengembalikan anak-anak tersebut kepada mereka.

Satu kelompok anak yang rentan untuk diambil secara paksa oleh tentara adalah anak-anak muda yang bekerja sebagai pembantu tentara atau yang dikenal sebagai Tenaga Bantuan Operasi (TBO). Para tentara sering kali mengembangkan ikatan emosi dengan TBO mereka sehingga menawarkan untuk membawa mereka pulang dan mendidik mereka. Para tentara juga ingin terus mempengaruhi dan memastikan mereka tidak bergabung dengan kelompok perlawanan. Hanya saja, banyak TBO dibawa ke Indonesia di luar keinginan mereka dan orangtua mereka. Lebih dari itu, kerap kali mereka harus terus bekerja keras, sebagian di antara mereka diperlakukan seperti budak untuk keluarga tentara yang bersangkutan.

Akan tetapi, mengapa para tentara itu membawa anak-anak tanpa izin dan kadang kala memaksa orangtua untuk menyerahkan anak-anak mereka? Para tentara rupanya mempunyai pandangan paternalistik terhadap orang Timor Leste, dengan memandang mereka sebagai masyarakat yang primitif dan terbelakang. Mereka percaya bahwa mereka menawari anak-anak tersebut pendidikan yang lebih unggul di Indonesia. Hal ini membuat mereka membenarkan tindakan mereka mengambil anak-anak Timor Leste dari keluarga mereka, bahkan secara paksa. Para prajurit bahkan membawa anak-anak tersebut bagaikan sedang mengambil barang dari musuh yang dikalahkan, seperti piala perang.

Setelah beberapa waktu, pihak militer dan pemerintah mengeluarkan peraturan dan instruksi yang melarang pemindahan anak-anak kecil dari Timor Leste, kecuali mereka itu yatim-piatu atau orangtua mereka telah memberikan persetujuan tertulis. Kendati demikian, para prajurit mengambil paksa anak-anak dari orangtua dan keluarga mereka di Timor Leste. Sering kali para prajurit memaksa orangtua menandatangani dokumen tertulis yang mengizinkan pengambilan anak-anak mereka. Jika mereka tidak bisa memperoleh dokumen tersebut, para prajurit lalu memasukkan anak-anak ke dalam peti kemas dan memuat mereka bersama barang lain ke kapal menuju Indonesia.

Anak-anak yang dikirim ke lembaga-lembaga

Pada akhir 1970-an Presiden Soeharto mengirim beberapa kelompok anak yatim-piatu Timor Leste ke berbagai institusi di Jawa. Pemindahan ini diselenggarakan melalui yayasan baru miliknya, yakni Yayasan Dharmais. Pada tahun 1977 ia mengundang sekelompok anak yatim-piatu ke istana presiden. Melalui undangan tersebut beliau ingin menunjukkan kepada pemirsa Indonesia melalui media tentang kepedulian pemerintah Indonesia untuk membantu pembangunan di Timor Leste. Ia juga ingin menunjukkan belas kasihannya dengan cara merawat anak-anak yang orangtuanya meninggal dalam upaya mereka mendukung integrasi dengan Indonesia. Undangan Presiden itu tiba sesaat sebelum militer Indonesia melancarkan serangan akhir untuk menghancurkan Fretilin dan menunjukkan kepercayaan sang Presiden bahwa Timor Timur segera akan mengikuti keluarga besar Indonesia, yang dia kepalai. Dengan mengambil anak-anak korban perang dan konflik di Timor Leste, dia memberikan contoh yang nantinya diikuti oleh yang lain. Pemindahan anak-anak dari Timor Timur ke Indonesia menjadi cara memperlihatkan nasionalisme.Transfer itu juga memastikan bahwa anak-anak tersebut, yang dididik di Indonesia, nantinya tumbuh besar dan mendukung integrasi tanah air mereka dengan Indonesia. Baca tentang kunjungan ke rumah Suharto.

Kelompok-kelompok keagamaan di Timor Leste diketahui juga mengirimkan anak-anak kecil ke Indonesia untuk dididik. Para pemimpin agama percaya bahwa pendidikan rohani itu penting, tetapi mereka juga bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, dengan mendidik anak-anak itu untuk mendukung integrasi. Gereja Katolik, yang merupakan agama mayoritas di Timor Leste, diketahui mengirimkan sejumlah kecil anak ke Jawa untuk dididik. Meskipun begitu, mereka juga mendirikan sekolah-sekolah di Timor Leste dan membawa banyak guru serta anggota ordo dari Indonesia untuk menjadi staf di sana.

Sementara itu, Islam adalah agama mayoritas di Indonesia. Namun, kehadirannya di Timor Leste tidaklah mudah karena ditentang oleh warga yang mayoritas beragama Katolik. [1] Indonesia menjamin kebebasan bagi agama-agama yang diakui Negara untuk mempraktikkan iman mereka. Oleh karena itu, banyak orang muslim merasa bahwa Islam seharusnya diperbolehkan berkembang di Timor Leste. Bagaimanapun, selama tahun 1990-an pembangunan masjid dan sekolah Islam kian lama kian ditentang oleh umat Katolik di sana. Jadinya agama pun terlibat dalam pergulatan politis. Karena ingin mengambil hati orang Timor Leste untuk menerima integrasi, pemerintah sering kali mengakomodasi kepekaan umat Katolik. Pada saat itu banyak orang Timor Leste berpikir bahwa menjadi seorang muslim berarti menolak identitas Timor Leste dan menerima integrasi dengan Indonesia.

Masalah-masalah yang penyiar Islam hadapi saat membangun sekolah dan masjid di Timor Leste membuat mereka memutuskan untuk mengirim anak-anak ke Indonesia untuk menerima pendidikan islami. Karena pemindahan anak-anak Timor Leste ke yayasan-yayasan Islam di Indonesia dapat memicu reaksi keras, para penyiar agama itu lalu memutuskan untuk mengirim anak-anak ke Indonesia dalam kelompok-kelompok kecil, nyaris secara rahasia. Bermula pada pertengahan tahun 1980-an dan berlanjut tahun 1990-an, lembaga-lembaga Islam di Timor Leste mengirim sedikitnya 1.000 anak Timor Leste ke sejumlah yayasan Islam di berbagai penjuru Indonesia. Jumlah terbesar dikirim oleh Yayasan Yakin. Para pengelola pengiriman anak tersebut juga memakai agama sebagai alat perjuangan mereka. Mereka berharap bahwa penduduk asli Timor Leste yang telah menjadi muslim akan mendukung integrasi dan akhirnya memberikan ruang bagi diterimanya kaum muslim lain di Timor Leste, termasuk orang luar yang melaksanakan upaya integrasi. Baca lebih lanjut.

Para pengurus itu memilih anak-anak dari keluarga yang paling membutuhkan tawaran pendidikan gratis di Indonesia—anak-anak yatim-piatu serta mereka yang berasal dari keluarga miskin dan dari daerah terpencil. Untuk menerima pendidikan gratis, anak-anak itu harus menjadi muslim. Mereka biasanya juga diberi nama baru, kendati terkadang tetap memakai nama Timor Leste mereka (nama-nama Katolik dari bahasa Portugis). Kebanyakan dari mereka menerima pendidikan sebagai guru atau penyiar agama Islam, dan mereka harus berjanji untuk kembali ke Timor Leste guna menyebarkan agama Islam.

Banyak orangtua dan kepala desa di Timor Leste yang tidak begitu mengkhawatirkan kenyataan bahwa anak-anak itu dididik dalam agama lain. Yang mereka khawatirkan adalah rusaknya keselarasan dan solidaritas sosial akibat pindah agama. Acap kali anak-anak yang pindah agama tidak melaksanakan tugas budaya dan sosial yang diharapkan dari mereka sehingga mengecewakan dan menyedihkan orangtua mereka.

Sebelum dan segera setelah referendum pada tahun 1999, sejumlah penduduk Timor Leste yang sangat mendukung integrasi dengan Indonesia mengambil anak-anak dari keluarga mereka dan mengirimnya ke berbagai lembaga di Indonesia. Tujuan mereka adalah mendidik anak-anak sebagai pendukung kelanjutan integrasi Timor Leste dengan Indonesia. Tampaknya, mereka telah melibatkan sekitar 1.000 anak dalam upaya ini. Baca lebih lanjut.

Apakah pemindahan anak diizinkan oleh pihak berwenang?

Pihak berwenang mengizinkan anak-anak Timor Leste yang sudah yatim-piatu untuk dikirim ke Indonesia untuk dirawat dan dididik. Karena itu, yayasan milik Presiden Soeharto mencari anak-anak yatim-piatu, anak-anak tanpa ayah atau tanpa ibu, untuk dibawa ke Indonesia. Namun, kenyataannya tidaklah demikian.

Pertama, di Timor Leste, seperti di banyak tempat di Indonesia, biasanya kerabat merasa bertanggung jawab untuk merawat anak-anak dari almarhum saudara mereka. Dengan demikian, anak yatim/piatu biasanya masih memiliki keluarga yang bersedia merawat mereka, meskipun perang membuat para kerabat kesulitan untuk merawat anggota keluarga besar yang membutuhkan. Apapun situasinya, para kerabat merasa bahwa mereka seharusnya diberitahu tentang keberadaan dan kesejahteraan anak-anak dari keluarga besar mereka. Yayasan milik Soeharto tidak melakukan hal ini.

Fakta bahwa hanya anak-anak yatim-piatu yang diizinkan untuk diadopsi didukung oleh dokumen militer yang ditemukan oleh Hilmar Farid, Kepala Jaringan Kerja Budaya dan Institut Sejarah Indonesia, pada tahun 1999di antara tumpukan dokumen militer. (Sekarang dokumen tersebut disimpan oleh organisasi hak asasi manusia, Yayasan Hak, di Dili.). Itu adalah perintah yang dikeluarkan pada tahun 1978 atau 1979 oleh komandan militer di Timor Leste, yang menyatakan bahwa tentara tidak boleh mengambil anak-anak untuk diadopsi, kecuali yang yatim-piatu. Di dalam lampiran surat itu terdapat daftar nama anak-anak yang bisa diadopsi. Bupati Ermera pada waktu itu, Tomás Gonçalves, turut menandatangani, menyatakan bahwa anak-anak yang ada dalam daftar itu adalah yatim-piatu.

Namun, akibat perang tidaklah mudah untuk mengetahui keberadaan orangtua dari anak-anak itu guna memastikan bahwa seorang anak adalah yatim-piatu. Anak yang terpisah dari orangtuanya sering kali diurus oleh lembaga keagamaan. Pendeta dan orang-orang yang mengorganisasi lembaga tersebut acap kali diminta untuk menandatangani “surat serah terima”, memberikan anak-anak yang ada dalam perawatan mereka (surat keterangan menyerahkan anak).

Tentara juga memaksa para orangtua untuk menandatangani surat-surat tersebut, bahkan ketika mereka tidak setuju. Tak hanya itu, ada sebagian orangtua yang tidak dapat membaca sehingga mereka dibohongi oleh para tentara tentang isi surat yang mereka tandatangani. Para tentara itu biasanya memberitahu orangtua bahwa mereka akan mengembalikan si anak begitu mereka menamatkan pendidikan mereka. Namun, sebenarnya dokumen yang ditandatangani oleh orangtua menyatakan bahwa mereka menyerahkan hak asuh mereka atau menyatakan bahwa tidak ada lagi orang yang dapat merawat si anak.

Ketika tidak ada cara lain untuk mengambil anak-anak itu secara resmi, tentara menyelundupkan mereka keluar dari Timor Leste. Banyak prajurit memasukkan anak-anak ke dalam peti kemas, lalu memuatnya ke kapal yang meninggalkan Timor Leste sebagai bagian dari bagasi mereka. Banyak komandan militer tidak dapat memastikan bahwa bawahan mereka mengikuti perintah, selama keberangkatan anak-anak dari Timor Leste tidak diketahui oleh polisi militer.

Pihak berwenang tidak secara resmi mendukung pengiriman anak-anak Timor Leste ke lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia, khususnya oleh kaum muslim. Namun, banyak pejabat sipil dan militer terkemuka memberikan dukungan mereka. Transfer ini sering dilakukan secara diam-diam dan orangtua kerap dipaksa serta ditawari insentif. Acap kali mereka tidak diberitahu bahwa anak-anak mereka harus menjadi muslim agar dapat menerima pendidikan gratis yang ditawarkan. Apakah transfer ini diketahui khalayak ramai itu adalah hal yang dapat dipertanyakan. Anak-anak sering kali berasal dari keluarga yang paling rentan sehingga kurang mampu untuk memprotes transfer anak-anak mereka, jika mereka tidak setuju.

Apa yang terjadi pada anak-anak di Indonesia?

Anak-anak yang dibawa ke Indonesia secara perorangan biasanya diadopsi atau diberikan kepada keluarga lain untuk diadopsi. Kebanyakan orangtua angkat berusaha mendidik anak-anak angkat mereka seperti yang telah dijanjikan. Beberapa tentara bahkan mengirim anak-anak yang mereka bawa ke lembaga-lembaga Islam, seperti pesantren, untuk dididik.

Sebagian besar anak, entah mereka tinggal di rumah atau lembaga pribadi, dididik sebagai orang Indonesia. Alih-alih membantu mereka memelihara hubungan dengan Timor Leste, banyak orangtua asuh yang melarang anak-anak untuk bicara tentang Timor Leste, atau hanya memberi mereka informasi negatif tentang tempat kelahiran mereka. Para tentara sering mencoba mencegah anak angkat mereka untuk bercampur dengan orang Timor Leste. Dengan demikian, anak-anak itu kehilangan bahasa dan budaya asli mereka. Mereka kerap diberi nama baru dan, dalam banyak kasus, dibesarkan dalam agama yang berbeda dari yang orangtua mereka. (Banyak orang Timor Leste yang tidak memeluk salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah Indonesia pada saat terjadi invasi. Bagaimanapun, sejak saat itu mayoritas penduduk Timor Leste memilih agama Katolik yang dibawa oleh orang Portugis.)

Banyak anak mendapat pengalaman yang baik di rumah orangtua angkat atau orang yang membawa mereka, meski mereka kehilangan identitas Timor Leste-nya. Namun, banyak juga yang harus bekerja keras bagi keluarga angkat mereka. Sementara itu, ada juga yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan disiplin yang ketat di lembaga-lembaga, tempat mereka dikirim. Karena mereka diperlakukan secara kurang baik atau karena mereka tidak dapat beradaptasi, sebagian anak melarikan diri dari keluarga angkat atau dari lembaga mereka. Kami mengetahui beberapa kasus tentang menghilangnya anak-anak ini.

Lembaga-lembaga tersebut, yang tersebar di seluruh Indonesia, adalah wali dari anak-anak, tetapi mereka tidak berbuat banyak untuk melanjutkan kontak dengan orang Timor Leste yang mengirim anak-anak itu. Para pengelola lembaga di Timor Leste hanya berfokus pada pengiriman sebanyak mungkin anak-anak ke Indonesia. Mereka kurang memberikan informasi kepada para orangtua di Timor Leste tentang anak-anak mereka. Para orangtua hanya menerima kabar secara tidak langsung dari beberapa pelajar yang lebih tua, yang kebetulan mengenal anak mereka.

Tentara, yang mengambil anak-anak yang terpisah dari keluarganya, seharusnya mencoba untuk membantu anak-anak itu melacak keluarga mereka setelah perang berakhir. Dengan tidak melakukannya, mereka mengabaikan hak anak-anak mereka, yang diakui oleh hukum internasional, yaitu bahwa anak-anak harus dibesarkan oleh orangtua dan keluarga di lingkungan kelahiran mereka. Sesungguhnya, tentara yang mengambil anak-anak di luar kemauan orangtua mereka telah melanggar hukum yang berlaku di Indonesia. Dengan melanggar janji lisan kepada orangtua, yakni untuk mengembalikan anak-anak itu ketika pendidikan mereka usai, para tentara menghilangkan peluang untuk membangun kepercayaan dan hubungan baik dengan orang Timor Leste yang, menurut klaim mereka, sedang mereka bantu.

Di mana anak-anak hari ini? Melacak anggota keluarga yang hilang

Anak-anak yang dipindahkan ke Indonesia kini telah mencapai usia dewasa. Banyak dari antara mereka, yang diambil oleh tentara, telah kembali ke Timor Leste. Sebagian bernasib baik dan dapat menemukan keluarga mereka, sementara yang lain masih dalam pencarian. Bagaimanapun, kebanyakan dari mereka tetap tinggal di Indonesia. Mereka adalah orang Indonesia, setelah menghabiskan tahun-tahun pembentukan diri mereka di sana. Bahkan, sekalipun mereka ingin, banyak yang tidak memiliki sumberdaya dan kontak untuk mencari keluarga mereka. Ada juga anak-anak yang masih sangat kecil ketika dibawa pergi sehingga tidak tahu bahwa mereka berasal dari Timor Leste.

Anak-anak yang tumbuh besar di yayasan selalu tahu bahwa mereka adalah orang Timor Leste, sekalipun mereka tidak banyak belajar tentang budaya mereka dan tidak sering berhubungan dengan keluarga mereka. Setelah kemerdekaan, banyak anak yang dikirim ke lembaga-lembaga Islam, yang khawatir untuk kembali ke Timor Leste. Banyak di antara mereka kini tinggal di sekitar Bandung dan, terutama, di lokasi-lokasi transmigrasi di Sulawesi Selatan. Anak-anak yang diambil oleh lembaga-lembaga keagamaan pada tahun 1999 hanya mendapat sedikit dukungan pemerintah untuk kembali ke keluarga mereka di Timor Leste.

Kami yakin bahwa keberadaan banyak anak Timor Leste di Indonesia akan tetap tidak diketahui. Jumlah mereka kecil di negara yang luas ini, yakni terbesar keempat di dunia. Dibesarkan sebagai orang Indonesia, mereka tidak tahu banyak tentang keluarga asli mereka di Timor Leste dan tidak punya sumberdaya untuk mencari keluarga mereka.

Selama masa pendudukan tidaklah mudah bagi anak-anak dan keluarga mereka untuk saling mencari. Semenjak kemerdekaan Timor Leste dan berakhirnya pemerintahan Orde Baru di Indonesia, hal ini menjadi lebih mudah. Beberapa keluarga dari kaum militer berpangkat tinggi di Timor Leste telah berhasil melacak anak-anak mereka. Sayangnya, kebanyakan keluarga di Timor Leste tidak memiliki koneksi sebaik itu.

Apakah pemindahtanganan seperti ini terjadi juga di tempat lain dan mengapa?

Di bagian lain situs web ini Anda akan menemukan sejumlah pranala (link) ke beberapa contoh pengiriman anak ke lembaga-lembaga atau untuk diadopsi. Ada beberapa perbedaan terkait transfer anak dari Timor Leste, tapi ada juga beberapa kemiripannya.

Pengambilan anak-anak dari keluarga mereka untuk dididik dan dibudayakan adalah praktik yang umum di antara banyak penjajah. Para pengelola pemindahan anak percaya bahwa mereka melakukan itu semua untuk membantu anak-anak dan keluarga mereka. Pendidikan yang si anak akan terima dianggap cukup untuk membenarkan tindakan mereka yang mengambil anak-anak dari lingkungan mereka. Pengelola ini jarang berpikir tentang dampak keterpisahan itu atas anak-anak dan keluarga mereka.

Memang, biasanya kelompok yang dominanlah yang mengambil anak-anak dari kelompok yang lebih lemah guna membantu kelompok ini untuk berintegrasi. Ketika tugas ini terlihat sulit, memulai dengan anak-anak kerap kali dianggap sebagai cara terbaik untuk mengalami kemajuan.

Pengambilan anak ini tidak serta-merta dilakukan secara paksa. Kelompok yang kuat menganggap kelompok yang lemah sebagai terbelakang serta membutuhkan perbaikan dan peradaban. Para anggota kelompok yang lebih lemah dikondisikan untuk percaya bahwa mereka lebih inferior sehingga satu-satunya cara untuk memperbaikinya adalah mendapatkan pendidikan dalam ide dan cara-cara dari budaya yang dominan.

Mengambil anak-anak untuk diadopsi lebih sering terjadi dalam situasi perang dan konflik. Tentara dan warga sipil dari kelompok penakluk membawa anak-anak dari kelompok yang ditaklukkan—sering kali anak-anak dari pihak yang paling keras menentang.

Anak-anak yang diambil berada dalam posisi yang lemah karena mereka hanyalah anak-anak dan biasanya termasuk dalam kelompok yang paling rentan—mereka yang miskin atau yang orangtuanya melakukan perlawanan. Seperti di Timor Leste, praktik ini sering terjadi tanpa diketahui dan tidak terdokumentasikan selama bertahun-tahun. Anak-anak berhak untuk mengetahui identitas mereka dan budaya tanah air mereka, siapapun orang tua mereka. Ini sebabnya kami percaya bahwa cerita tentang pengiriman anak-anak (child transfer) keluar dari Timor Leste bukan sekadar cerita tentang sekelompok kecil anak dari sebuah pulau kecil, di ujung timur Indonesia. Hal ini penting karena cara kita memperlakukan pihak yang lemah dan tak berdaya adalah ukuran kemanusiaan dan peradaban kita.
____________________________________________________

1. Selama beberapa abad ada keluarga-keluarga Muslim Arab yang tinggal di Dili. Tetapi, di anatara orang asli di sana, tidak ada orang yang beragama Islam.

Satu pemikiran pada “Latar belakang

  1. Masalahnya Yang nyuruh Nolong Siapa…!!
    Yang Minta dikasihani juga siapa,..!!
    Kenapa TNI gak biarkan aja,..gak usah nolong..lah…
    Ironis kalo TNI nolong…Setahu aku..TNI membantai..
    karena disuruh…dengan alasan Bela Negara, Demi Merah Putih,

    Itu saja..!!

Komentar ditutup.