Anak-anak yang diambil untuk diadopsi oleh tentara dan pegawai sipil
Abdul Rauf terluka ketika tentara Indonesia mengebom desanya. Tentara Indonesia menyelamatkannya dan mengirimnya ke Indonesia untuk pengobatan.
Alexhia Aprilia Simatupang diambil dari orangtuanya pada tahun 1992 ketika ia masih bayi. Kehilangan putri mereka ini merupakan harga yang harus dibayar oleh sang ibu karena beberapa anggota keluarganya adalah komandan Falintil, penentang Indonesia.
Alfredo Alves Reinado tewas dalam upaya pembunuhan Presiden Jose Ramos Horta pada 11 Februari 2008. Pada tahun 1979, sebagai seorang anak usia 12 tahun, ia dipaksa bekerja sebagai pembantu (TBO) seorang tentara Indonesia. Sekitar awal 1980, tentara tersebut menyembunyikan Alfredo di dalam kotak dan menyelundupkannya keluar dari Timor Leste. Baca wawancara tentang pengalaman masa kecilnya, yang diberikan sebelum ia meninggalkan kemiliteran Timor Leste untuk memimpin sekelompok pemberontak.
Benvindo Aze Descartes berusia 17 bulan ketika ayahnya, Letnan Kolonel Aluc Descartes, seorang komandan Falintil, terluka. Aluc menyematkan catatan di tubuh putranya dan memerintahkan anak buahnya untuk membawa Benvindo ke kota, untuk menitipkannya ke salah satu keluarganya. Akan tetapi, komandan distrik militer (tentara Indonesia) mendengar tentang Benvindo dan memutuskan untuk mengadopsinya.
Biliki diambil paksa dari keluarganya pada tahun 1978 oleh seorang tentara dari Pasukan Khusus (Kopassus). Tentara tersebut menyerahkan Biliki ke keluarga militer lainnya, dan ia dibesarkan di Jakarta tanpa mengetahui apa-apa tentang keluarganya di Timor Leste. Tahun 1999, CAVR menyiarkan kisahnya di program radio mereka.
Cipriano menghilang setelah keluarganya menyerahkannya kepada Yayasan Dharmais. Istri seorang tentara Indonesia mengambilnya dari yayasan tersebut di Dili.
Elito (Bobi Rahman) baru berumur beberapa bulan ketika ayahnya, Brigadir Jenderal Lere Anan Timur, mengirim putranya yang masih bayi keluar dari hutan. Elito lalu dibawa ke Indonesia oleh seorang polisi. Sepanjang hidupnya Lere berusaha mencari anaknya dan akhirnya menemukannya pada tahun 2010.
Lima anak dibawa pergi bersama-sama dari Aifu, Ermera, pada tahun 1977. Kakak dan adik, Luis Manuel Maya dan Agusta Fatima Babo; dua bersaudara Agusta dan Madelina Martinz, serta Cristovão dipisahkan dari keluarga mereka. Pihak keluarga dari Agusta dan Madelina ingin menghubungi mereka; sementara orangtua dari Luis dan Agusta ingin melihat mereka lagi sebelum mereka meninggal. Baca lebih lanjut tentang Luis dan Agusta, Cristovão, serta Agusta dan Madelina.
Orang tua dari Tommy dan Sonia Gandara dibunuh karena mereka adalah pemimpin Fretilin. Salah seorang sanak keluarga mereka meminta izin kepada komando militer untuk membawa anak-anak tersebut dan merawat mereka. Namun permintaan itu ditolak. Sebaliknya, anak-anak tersebut diserahkan kepada seorang pegawai sipil Indonesia. Sepucuk surat serah-terima menyatakan bahwa tidak ada yang merawat Tommy dan Sonia.
Veronica berusia delapan bulan pada tahun 1977 ketika ia diculik dari Ermera. Semenjak itu keluarganya belum pernah mendengar tentangnya lagi.
Vitor da Costa dibawa ke Indonesia pada tahun 1979 oleh seorang kontraktor Indonesia yang berbelas kasihan terhadap anak laki-laki yang kurus kurang gizi. Vitor telah mencoba beberapa kali untuk melacak keluarganya.
Anak-anak yang ditransfer oleh berbagai organisasi
Presiden Soeharto mendirikan Yayasan Dharmais untuk merawat anak-anak korban perang terkait integrasi Timor Leste. Hal ini merupakan awal pengiriman anak-anak Timor Leste ke Indonesia pada tahun 1976.
Keponakan-keponakan Abilio da Conceição terhindar dari maut ketika orangtua mereka dibunuh oleh Fretilin pada bulan September 1974. Fretilin merawat mereka di gedung yang kemudian menjadi Panti Asuhan Seroja. Setelah invasi Indonesia, Yayasan Dharmais mengirim anak-anak tersebut ke berbagai lembaga di Indonesia.
Floriana da Conceição baru berusia dua tahun pada tahun 1976 ketika ia dikirim ke Jawa oleh Yayasan Dharmais. Ia hanya tahu sedikit tentang Timor Leste, sampai kunjungan Gubernur Timor Leste, Mario Carrascalão, pada tahun 1984 mengubah segalanya.
Petrus Kanisius berumur 10 tahun ketika ia dikirim bersama 20 anak Timor Leste lainnya ke Jawa Tengah oleh Yayasan Dharmais. Keberangkatannya dari Dili diatur secara terburu-buru dan keluarganya tidak diberitahu.
Ketika Petrus Kanisius dan anak-anak lainnya tiba di Jakarta, mereka dibawa untuk mengunjungi Presiden Soeharto pada tanggal 3 September 1977. Mengapa sang Presiden mau merepotkan diri bertemu dengan 20 anak kecil?
Henrique Araujo dari Same adalah salah satu dari sekelompok anak yang dikirim ke Jawa Tengah bersama Petrus Kanisius. Ia melarikan diri pada tahun 1983 dan tidak ada yang mendengar kabar tentangnya sejak itu.
Rafael Urbano Rangel Soares berusia tujuh tahun ketika Yayasan Dharmais mengirimnya ke Jawa. Tapi, ia tidak pernah lupa akan keluarganya dan selalu rindu akan kampung halamannya.v
Cipriano meninggalkan rumah bersama sepupunya, Rafael Rangel Soares Urbano. Orangtuanya mengizinkannya pergi ke Jawa untuk bersekolah, dengan disponsori oleh Yayasan Dharmais. Namun, sebelum ia berangkat ke Jawa, seorang istri dari salah satu tentara Indonesia mengambilnya dari Panti Asuhan Seroja di Dili.
Yayasan Tiara milik putri presiden Indonesia kala itu, Presiden Soeharto, bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja dan pihak militer Indonesia, mengirimkan para pemuda yang menganggur di Timor Leste ke Indonesia, sebuah program training dan perkerjaan. Mereka dibawa keluar dari Timor Leste agar tidak ambil bagian dalam demonstrasi anti-pemerintah Indonesia dan kegiatan bawah tanah lainnya.
João da Costa salah seorang pemuda yang dipaksa bergabung dalam program yang dijalankan oleh Departemen Tenaga Kerja.
Yayasan-yayasan Islam mengirim banyak anak ke Indonesia untuk menerima pendidikan Islam
Setelah ibunya meninggal, bibi dari Abdul Kholiq mengirimnya bersekolah di Yayasan Yakin karena gratis. Tak lama kemudian Yayasan Yakin mengirimnya (bersama sejumlah anak Timor Leste lainnya) ke sebuah yayasan Islam di Jawa Timur.
Alacino F. Gusmao (Sudirman) lari dari rumah pada tahun 1991, beberapa hari setelah kejadian pembantaian Santa Cruz di Dili. Seorang tentara menemukannya dan bersama Yayasan Yakin mengatur keberangkatannya ke Sulawesi.
Mohammad Iqbal Menezes Alcino adalah anak seorang gerilyawan Fretilin dari Uatolari, Viqueque. Ketika Iqbal memutuskan untuk masuk Islam, keputusannya ditentang dan menyebabkan banyak masalah bagi umat Katolik, Islam serta para pemimpin pemerintah dan kampung. Ia bertahan dan dikirim oleh Yayasan Yakin untuk belajar di Jawa.
Syamsul Bahari adalah salah satu dari 32 anak Timor Leste yang dikirim ke Bandung pada tahun 1988. Sebagai mahasiswa yang lebih tua ia membantu Ikatan Pelajar Mahasiswa Islam Timor Leste. Para mahasiswa mencoba membantu banyak anak yang lebih muda, yang datang ke Bandung.
Abidin Haryanto mengirim dua putrinya, Siti Khodijah (Olinda Soares) dan adiknya, Siti Aminah (Amalia Soares), ke Surabaya pada tahun 1993 atas saran seorang tentara tempat ia bekerja. Pada tahun 2004 ia pergi ke Indonesia untuk membawa mereka pulang.
Setelah referendum pada tahun 1999, masih banyak anak yang terpisah
Masih ada banyak mahasiswa Muslim yang belajar di Indonesia. Al-Bana Conceição menceritakan pengalaman mereka.
Zacarias Pereira ditipu oleh Hasan Basri dan gurunya hingga meninggalkan Timor Leste setelah tahun 1999. Hasan Basri menolak untuk mengembalikan anak-anak yang berada dalam perawatannya ke Timor Leste.