Biliki

Biliki at CAVR

Biliki at CAVR, 2004

 

Keterangan foto: Biliki pada bulan Juni 2004 pada hari pertama menginjakkan kaki kembali di Timor Leste setelah 27 tahun, menyampaikan ceritanya kepada anggota CAVR di Dili; difoto bersama pejabat CAVR, Maria Olandina Isabel Caeiro Alves (Arsip CAVR).

Tempat asal: Ainaro
Tempat tinggal: Jakarta

‘Saya lahir pada tahun 1969 di sebuah desa kecil yang terletak di tengah Timor Leste. Orangtua saya, Kulibere dan Maria, adalah petani dan pedagang kecil. Mereka menjual tikar, kopi, buah-buahan, dan cabai.

‘Bersama kakak laki-laki saya, Maumale, kami tinggal di dekat kebun kopi milik kami. Masih melekat dalam ingatan saya, setiap ia pulang sekolah saya berlari menyambutnya dan ia akan menggendong saya di atas pundaknya.

‘Seusai upacara adat menghantar kepergian nenek, paman saya, Armindus, membawa saya dan kakak untuk tinggal bersamanya. Saya tidak mengerti mengapa kami harus ikut dia. Mungkin itu berkenaan dengan hukum adat dalam keluarga kami. Kakak saya tidak tinggal lama bersama Paman karena ia tahu jalan pulang ke rumah kami. Saya tetap tinggal karena senang bermain dengan anak-anak paman saya, yakni Bitersa, Sucakina, dan Armindos. Namun, oleh Paman saya tidak diizinkan bertemu dengan orangtua saya. Ibu saya tampaknya takut pada Paman sehingga kami terpaksa bertemu secara sembunyi-sembunyi di kebun kopi.

Invasi

‘Kemudian terjadilah invasi Indonesia pada tahun 1975. Ketika tentara Indonesia mendekat, saya dan keluarga Paman beserta seluruh penduduk desa melarikan diri ke hutan. Namun, pada tahun 1978 kami terpaksa menyerah. Para tentara lalu membawa kami ke Ainaro. Di sana kami tinggal bersama ratusan orang lainnya dalam gedung besar dekat gereja. Siang hari tempat itu digunakan sebagai sekolah dan pada malam hari digunakan sebagai tempat kami tidur, lengkap dengan kawalan tentara.

‘Ada seorang tentara Kopassus yang baik pada saya. Ia memberi saya pakaian bagus dan permen serta sering mengajak saya berjalan-jalan, juga ke markasnya. Paman saya selalu memperingatkan saya untuk bersembunyi jika si Tentara datang. Ia bilang, mungkin sang Tentara tahu bahwa saya bukanlah anaknya dan ingin membawa saya pergi.

Diculik

‘Pada suatu hari Minggu, sesaat setelah misa pertama, saya baru keluar dari gereja bersama anak-anak lain ketika sejumlah tentara Kopassus membawa dan memasukkan saya ke sebuah mobil. Paman saya berusaha mencegah mereka. Saya masih ingat ketika saya menjerit-jerit dan merasa sangat ketakutan. Mereka membawa saya ke lapangan terbang terdekat dan menaikkan saya ke sebuah helikopter. Ketika helikopter itu mulai naik, saya melemparkan saputangan hadiah paman saya keluar. Di Dili saya tinggal beberapa bulan di barak tentara di Taibessi yang juga ditinggali beberapa wanita Timor Timur. Salah satu dari mereka lalu merawat saya. Sekali waktu saya mencoba melarikan diri dan mencari jalan pulang ke rumah, tapi tidak berhasil. Setelah beberapa waktu, masa dinas sang Tentara Kopassus di Ainaro berakhir. Ia lalu mengambil saya dari barak dan membawa saya pulang dengan pesawat ke Indonesia.

‘Saya tinggal dengan keluarga sang Tentara selama lima hari sebelum akhirnya ia menyerahkan saya kepada keluarga lain yang juga tinggal di kompleks perumahan Kopassus di Cijantung, Jakarta. Tapi, saya sama sekali tidak bahagia. Para tentara itu semestinya tahu apa yang saya rasakan setelah mereka menculik saya. Mereka sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan saya. Keluarga kedua ini mempunyai banyak anak dan sang ibu kadang bersikap kejam kepada saya. Selang setahun saya bertemu dengan seorang ibu di kompleks yang sama dan ia mengundang saya untuk datang dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga ini sangat baik pada saya sehingga saya menganggap mereka sebagai keluarga saya sendiri. Merekalah yang menyekolahkan saya. Mereka punya enam orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang paling besar, dengan saya berada di tengah-tengah. Kini saya sudah menikah dan punya tiga orang anak.

Mencari keluarga

‘Saya selalu ingin bertemu dengan orangtua saya lagi sebelum saya dipanggil Tuhan. Selama masa Orde Baru, saya tidak berani mencari. Setelah tahun 1999 (setelah berakhirnya Orde Baru dan kemerdekaan Timor Timur) saya mulai meminta tolong kepada beberapa orang, tapi tidak berhasil.

‘Pada bulan Mei 2004 saya berbicara dengan CAVR (Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Leste). CAVR lalu menyiarkan keinginan saya ini melalui program radio Dalan ba Dame. Saya menceritakan segala sesuatu yang saya tahu tentang diri saya, termasuk kelima nama anggota keluarga yang masih saya ingat dan dari mana saya berasal.

‘Keluarga saya kebetulan mendengarkan siaran ini. Mereka tidak melupakan saya, si anak yang hilang. Mereka lalu datang ke CAVR dan, segera setelah itu, pihak CAVR mengatur penerbangan saya ke Timor Leste. Akhirnya setelah 27 tahun, saya pulang ke rumah.

‘Saya sangat bahagia bisa bertemu kembali dengan keluarga saya. Namun, saya tidak bisa berkomunikasi langsung dengan mereka karena mereka tidak bisa berbahasa Indonesia, sementara saya sudah lupa bahasa Timor Leste. Kendati bahagia, saya tidak dapat tinggal di Timor Leste untuk seterusnya. Saya memang berdarah Timor Leste, tapi saya orang Indonesia. Dan, saya punya keluarga serta anak-anak yang masih kecil di Jakarta.

Cuplikan dari CAVR, Dalan ba Dame, 8 Mei 2004 (dengarkan programnya dalam Bahasa Indonesia)

‘Saya ingin pulang … pulang ke rumah. Saya memang orang Indonesia, tapi saya juga orang Timor Leste. Orangtua saya bukanlah berasal dari tempat yang tak dikenal, mereka berasal dari Timor Leste. Saya ingin ke sana, meski bukan berarti saya akan meninggalkan keluarga saya. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin pulang ke rumah… dan, kalau Anda bertanya kenapa, yang saya tahu adalah saya harus pulang. Akan sangat menakutkan jika saya meninggal dan saya belum sempat bertemu lagi dengan ibu dan keluarga saya.

‘Saya sungguh berharap, jika Anda adalah keluarga saya dan mendengar kisah saya ini, Anda akan menghubungi saya. Saya tidak ingin terus jadi anak hilang. Masalahnya, saya berada di Indonesia dan bagi saya ini adalah negara lain. Tak peduli seburuk apapun negara kita, kita akan selalu ingin pulang ke sana. Saya tidak ingin ditinggalkan di sini. Saya harus menemukan keluarga saya….’

Biliki & children

Biliki & children, Jakarta, 2006 (Foto: Helene van Klinken)