Tempat asal: Somoxo, Los Palos
Saya dilahirkan pada tahun 1985 tanpa pernah mengenal ayah saya. Ia adalah seorang pegawai kepolisian Indonesia di Atambua. Setelah Ibu wafat pada tahun 1991, seorang tante membawa dan menyekolahkan saya di Yakin (Yayasan Kesejahteraan Islam Nasrullah). Kami tidak punya uang untuk biaya sekolah dan Yakin tidak memungut bayaran. Semuanya gratis. Saat itu ada kira-kira 70 anak yang tinggal di yayasan itu. Di sanalah saya mulai masuk SD. Suatu hari seorang pekerja yayasan bertanya kepada tante saya apakah saya boleh dibawa ke Jawa untuk disekolahkan.
Dikirim ke Jawa Timur
Pada tahun 1992 saya bersama sepuluh anak lain diberangkatkan ke Jawa Timur. Waktu itu saya berumur enam tahun, paling muda dalam rombongan kami. Anak yang paling tua berusia 15 tahun. Kami semua masih duduk di bangku SD. Sebelum diberangkatkan kami semua digunduli agar kami mudah dikenali seandainya kami tersesat dalam perjalanan dengan kapal ke Surabaya. ‘Dari Yakin kami lalu dikirim ke Panti Asuhan (PA) Baitulamin di Bareng, Jombong, Jawa Timur. Menjelang akhir tahun 1992 ada 20 anak dari Timor Leste yang dikirim ke Yakin. Jadi, kami semua yang tinggal bersama di PA Baitulamin berjumlah 30 anak. Sebagian besar dari kami tidak pernah berhubungan lagi dengan Yayasan Yakin, apalagi dengan orangtua atau keluarga kami di Timor Leste. Hanya satu atau dua anak yang sempat berkabar kepada keluarga mereka melalui surat. ‘Setelah beberapa saat timbullah masalah antara kami, anak-anak dari Timor Leste, dengan pengurus panti. Kami tidak membayar uang sekolah seperti halnya anak-anak lain yang berasal dari Jawa. Mereka sering mengolok-olok cara kami berbahasa Indonesia serta kulit kami yang hitam dan rambut kami yang keriting. Tentu saja, hal ini membuat kami marah sehingga sering terlibat dalam perkelahian. Namun, pengurus panti selalu berpihak pada anak-anak yang membayar uang sekolah itu. Bagi mereka, kami ini tidak mudah dibina seperti halnya anak-anak dari Jawa.
Melarikan diri dan berganti panti
Pada tahun 1993 Yayasan Yakin mengirim 30 anak lain ke Yayasan Tunanetra di Ngoro yang juga berlokasi di Jombang, Jawa Timur. Kecuali dua anak yang sudah besar, sisanya masih duduk di bangku SD. Saya sering mengunjungi mereka dengan bersepeda. Kondisi mereka lebih memprihatinkan ketimbang kami. Mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan makanan. Tak heran pada tahun 1994 ada lima anak berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun yang melarikan diri. Saya mengenal anak-anak itu. Mereka lari tanpa membawa sehelai pakaian pun. Saya tahu bahwa mereka melarikan diri ketika staf pengurus mereka datang ke panti kami untuk mencari. Nantinya pada tahun 1999 saya bertemu dengan salah satu dari mereka di Surabaya. Ia bercerita bahwa mereka terpisah dalam perjalanan dengan bus. Setelah itu sempat saya mendengat kabar tentang mereka, tetapi tidak tahu persis apa yang terjadi. ‘Pada tahun 1996, pengurus panti kami memindahkan anak-anak yang masih kecil, termasuk saya, ke PA Muhammadiyah di Jombang. Anak-anak yang lain terpaksa keluar mencari tempat tinggal dan sekolah sendiri di Surabaya, Jakarta atau Bandung. ‘Di tempat yang baru ini kami menghadapi masalah yang serupa seperti di tempat lama. Jadi, setelah tiga tahun kami dipindahkan ke PA Muhammadiyah di Rungkut, Surabaya. Itu terjadi sesaat sebelum referendum berlangsung di Timor Leste. Pada tahun 2000 saya tamat SD dan, karena bermasalah dengan pengurus panti, saya lalu memutuskan untuk keluar dan mencari tempat tinggal sendiri. Beberapa anak lain pun pergi ke beberapa kota di Jawa karena mereka mendengar ada mahasiswa-mahasiswa Timor Leste tinggal di sana.
Saya tinggal di sebuah wartel (warung telekomunikasi). Siang hari saya bersekolah dan malam hari saya menjaga wartel tersebut untuk mendapatkan sedikit uang. Sebagai tambahan saya juga membantu membersihkan gedung sekolah untuk mendapatkan keringanan biaya. Akan tetapi, setelah setahun wartel itu ditutup dan saya kehilangan perkerjaan. Saya pun mendengar tentang anak-anak Timor Leste yang tinggal di Bandung dan memutuskan untuk ke sana dan mencari mereka.
Ada banyak mahasiswa yang tinggal bersama di tiga atau empat rumah dan mereka menerima serta berusaha menolong siapa pun yang datang. Walaupun hidup mereka pas-pasan, mereka mau menerima dan menolong saya. Kakak-kakak inilah yang membantu membiayai sekolah saya agar saya dapat melanjutkan tahun kedua di SMA . Sayangnya, mereka akhirnya juga kesulitan keuangan, jadi saya pun berhenti sekolah. Saya kemudian mencoba mencari kerja, tapi tidak berhasil.
Pulang kembali
Akhirnya, saya mendapat bantuan dari beberapa mahasiswa yang lebih tua untuk kembali ke Timor Leste bersama mereka. Kami sendiri yang membayar ongkos perjalanan sampai ke Kupang, selebihnya kami dibantu oleh Badan PBB untuk Urusan Pengungsi (United Nation High Commission for Refugees/UNHCR) untuk dapat sampai di Timor Leste. Saya tiba sehari sebelum Timor Leste merdeka pada bulan Mei 2002.