Abilio da Conceição

Tempat asal: Tibar (dekat Dili)

‘Saya lahir dari keluarga da Conceição yang secara turun-temurun menjadi pemimpin (Liurai) di Tibar, sebelah barat Dili. Kami adalah pendukung partai politik UDT. Ketika terjadi pertikaian antara partai UDT dan Fretilin pada bulan Agustus 1974, banyak anggota keluarga saya yang lari menyelamatkan diri dan menyeberangi perbatasan Indonesia, menuju Atambua, Timor Barat. Saya sendiri pun lari ke Atambua, meski ada anggota keluarga kami yang tetap bertahan di Tibar.

‘Pada waktu yang singkat, antara 28 Agustus dan pertengahan September 1975, sebanyak 30 anggota keluarga besar da Conceição yang bertahan di Desa Turliu, Tibar, tewas di tangan para pendukung Fretilin. Untungnya, anak-anak kecil kami, yang berjumlah 18 anak, dibiarkan hidup. Lima dari mereka nantinya diambil dan dirawat oleh anggota keluarga besar yang tinggal di daerah lain di Timor Timur. Pihak Fretilin lalu menaruh ketiga belas anak lainnya di orfanato (“panti asuhan” dalam bahasa Portugis) di Dili – nantinya berganti nama menjadi Panti Seroja. Di sanalah Fretilin mengelola pengasuhan anak-anak.

‘Ketika kembali ke Dili dari Atambua pada bulan Januari 1976, saya dapat bertemu dengan ketigabelas keponakan saya itu. Di sana tinggal juga anak-anak lain yang saya tidak kenal sebelumnya. Tak lama kemudian saya mulai bekerja untuk Palang Merah Indonesia (PMI) sehingga tiap bulan saya bisa mengirimkan makanan bagi 35 anak di panti tersebut.

‘Di Dili saya tinggal di rumah saya sendiri dan keponakan-keponakan saya kerap datang berkunjung ke sana. Namun, suatu ketika saya tidak melihat mereka beberapa waktu lamanya. Jadi, saya pun pergi ke Panti Seroja dan baru diberitahu bahwa tujuh dari kedelapan keponakan saya itu sudah dikirim ke Jawa. Saya benar-benar tidak pernah diberitahu soal pengiriman mereka. Karena saya tidak bisa berbahasa Indonesia, saya pun takut untuk bertanya kepada para prajurit mengenai keponakan-keponakan saya. Beberapa saudara jauh saya yang tinggal di Seroja akhirnya melarikan diri karena takut akan dikirim juga ke Jawa.

‘Akhirnya, saya pun tahu apa yang terjadi atas ketujuh keponakan saya itu pada tahun 1984, yakni ketika Mario Carrascalão mengatur agar anak-anak yang dikirim ke Pulau Jawa dapat berkunjung ke Timor Timur. Kebanyakan dari mereka lalu memutuskan untuk tinggal dengan saya karena sudah tidak punya keluarga lagi.’

Sejumlah institusi di Bandung, tempat anak-anak itu dikirim