Alacino F. Gusmao (Sudirman)

Tempat Asal: Baguia, Bacau

Melarikan diri ke Dili

‘Orangtua saya meninggal ketika saya masih kecil, jadi saya lalu tinggal bersama seorang tante. Akan tetapi, saya rasa mereka tidak menyukai saya. Jadi, ketika berumur 14 tahun, saya memutuskan untuk lari ke Dili. Saya pergi dengan bus, kendati saya tidak punya uang sama sekali untuk beli karcis. Ketika sang kondektur memeriksa karcis, saya menangis. Tidak ada orang yang saya kenal di Dili. Malam pertama di sana saya tidur di Terminal Bus Becora. Keesokan harinya saya bertemu dengan seorang tentara yang kemudian membawa saya ke Yayasan Yakin. Karena tidak tahu harus berbuat apa, saya memutuskan ikut saja dengannya.

Banyak sekali anak di yayasan itu. Umumnya mereka datang dari luar kota Dili, seperti Los Palos, Viqueque, Same, dan Manatuto. Karena tidak lancar Bahasa Indonesia, saya jarang berkomunikasi dengan mereka. Suatu hari saya mendengar bahwa ada 16 anak yang akan diberangkatkan ke Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Mereka berumur sekitar delapan tahun. Atas saran tentara yang membawa saya ke yayasan, saya memutuskan untuk ikut berangkat. Saat itu saya berpikir lebih baik menderita di tempat yang jauh daripada susah di negeri sendiri. Namun, sesungguhnya saya tidak mengerti mengapa saya memutuskan untuk ikut.

Berangkat ke Ujung Pandang [1]

Setibanya di Ujung Pandang kami langsung dibawa ke Pondok Pesantren Darul Istiqomah di Maros, Maccopa. Letaknya sekitar 25 kilometer dari kota Ujung Pandang. Ternyata sudah ada sekitar 50 anak dari Timor Leste tinggal di sana. Sebulan kemudian kami mulai masuk sekolah. Kami diberi pakaian dan diharuskan mengikuti rutinitas yang ketat. Kami harus bangun jam empat pagi untuk shalat dan sarapan pagi, lalu pergi ke sekolah yang letaknya tidak jauh dari kompleks kami. Setelah makan siang, kami belajar membaca Alquran selama 1-2 jam. Setelah itu kami boleh istirahat dan mandi. Lalu, sesudah itu kami shalat dan baca Alquran lagi selama satu jam hingga pukul delapan malam. Kemudian kami makan malam dan mengerjakan tugas sekolah sampai jam sepuluh malam. Sebagai orang Kristen awalnya sulit bagi saya untuk belajar membaca Alquran, tapi akhirnya saya bisa menguasainya.

Pindah ke Yayasan Al-Anshar

Pada tahun 1995 Mohammad Johari memutuskan untuk memindahkan anak-anak Timor Leste yang datang ke Sulawesi ke Yayasan Al-Anshar. Oleh karena itu, seluruh bantuan keuangan dialihkan dari Pesantren Maccopa ke Al-Anshar. Akibatnya, beberapa dari antara kami yang masih tinggal di Maccopa harus berhenti sekolah karena tidak mendapat bantuan lagi. Kami juga selalu mengalami kekurangan makan. Untuk mendapatkan uang kami lalu ikut orang yang bekerja memetik kopi dan cokelat. Setelah tinggal empat tahun di Maccopa akhirnya saya dipindahkan ke Al-Anshar dan bisa melanjutkan sekolah. ‘Ternyata tinggal di Al-Anshar juga tidak mudah. Kami tidak cukup mendapatkan makanan dan pakaian. Saya merasa kecewa karena saya pikir Al-Anshar punya cukup dana untuk membantu kami. Kami sering dikunjungi oleh pejabat pemerintah local, tentara dari Kostrad 433 dan Kodam VII Wirabuana, dari pabrik besar Bosowa dan perusahaan mi instan Indofood. Selain itu, ada bantuan dana dari pemerintah Jepang. Disiplin yang diterapkan di sana sangatlah ketat dan kami mendapat hukuman jika tidak mengikutinya. Saat itu ada lebih dari seratus anak yang tinggal di Al-Anshar yang berumur sekitar 6 sampai 15 tahun.

Nantinya, ada beberapa orangtua dari Timor Leste yang datang berkunjung karena anak mereka menulis surat dan menceritakan betapa susahnya tinggal di Al-Anshar. Mereka ingin membawa anak mereka kembali ke Timor Leste, tetapi Johari, sang pengelola, tidak mengizinkan. Menurutnya, lebih baik bila anak-anak itu tinggal dan menyelesaikan sekolah mereka di Sulawesi. Sementara itu, beberapa anak lain meminta pada orang-orang yang datang berkunjung untuk dibawa pulang ke Timor Leste. Namun, mereka pun tidak punya uang. Johari mengatakan pada anak-anak yang masih berumur lima atau enam tahun bahwa bila mereka ingin pulang, mereka harus cari ongkos sendiri. Beberapa orangtua yang datang terkejut karena anak-anak mereka sudah menjadi muslim. Semua anak yang tinggal di sana telah menjadi muslim dan diberi nama muslim juga.

Pada tahun 1999 akhirnya saya bisa meninggalkan Al-Anshar dan kembali ke Timor Leste bersama seorang mahasiswa Timor Leste dari Ujung Pandang.’
____________________________________________________

1. Ujung Pandang nama yang dipakai untuk Makassar sepanjang Orde Baru.