Alfredo Alves Reinado

Tempat asal: Maubessi

Alfredo Alves Reinado

Alfredo Alves Reinado

Alfredo Alves Reinando tewas dalam usaha pembunuhan Presiden Jose Ramos Horta tanggal 11 Februari 2008.

Setelah invasi Indonesia ke Timor Leste, Alfredo beserta keluarganya melarikan diri dari serangan yang kian mendekat. Pada tahun 1978, saat usianya baru menginjak 12 tahun, ia terpaksa bekerja sebagai pembantu seorang tentara, yakni TBO (Tenaga Bantuan Operasi). Sebagai TBO Alfredo kecil telah menyaksikan berbagai kekerasan militer di masa itu.

Pada akhir masa tugasnya sang tentara mengambil Alfredo kecil di luar kemauannya dan membawanya ke Sulawesi Tenggara. Alfredo memang disekolahkan, tetapi sang tentara dan keluarganya sering memperlakukannya dengan buruk. Suatu ketika, setelah sedemikian parah dianiaya, ia melarikan diri, naik bus lalu berperahu ke Kalimantan. Ia bekerja di sana selama beberapa tahun sampai ia sanggup berlayar kembali ke Timor Leste pada tahun 1986, saat ia berusia 19 tahun.

Di Dili ia bergabung dengan gerakan bawah tanah dan, pada tahun 1995, memimpin penyelundupan sekapal penuh pengungsi Timor Leste ke Australia. Ia bekerja di sebuah galangan kapal di Australia Barat dan kembali ke tanah airnya pasca-referendum. Pada tahun 2002 Alfredo bergabung dengan militer Timor Leste dan diangkat menjadi komandan unit Angkatan Laut. Namun, pada bulan Juli 2005 ia diturunkan karena suatu pelanggaran dan dijadikan polisi militer. Pada tahun 2006 ia melarikan diri dari ketentaraan untuk bergabung dengan sekelompok prajurit pemberontak yang telah lebih dulu meninggalkan ketentaraan. Pada bulan Mei tahun itu, ia terlibat dalam serangan di Dili. Setelah menjadi buronan, tertangkap, melarikan diri dan mengalami berbagai ancaman razia, Alfredo akhirnya tewas terbunuh pada Februari 2008 dalam keadaan yang masih belum jelas.’

Lihat artikel oleh Sara Niner:

Major Alfredo Alves Reinado: Cycles of torture, pain, violence

Alfredo bersedia diwawancara oleh Helene van Klinken di Markas Angkatan Laut Hera, Dili, pada tanggal 5 Maret 2004. Isi wawancara itu adalah sebagai berikut:

  • Melarikan diri dari serangan tentara Indonesia
  • Penangkapan dan perekrutan sebagai TBO
  • Diculik
  • Kehidupan di Sulawesi
  • Melarikan diri
  • Surat dari Komandan
  • Pelarian lainnya

Melarikan diri dari serangan tentara Indonesia

‘Saya lahir pada tahun 1966. Sebelum tahun 1975, keluarga saya tinggal bersama kakek-nenek saya yang berasal dari Portugal; mereka datang ke Timor Leste ketika ayah saya berusia sekitar 12 tahun.

Saat perang antara partai-partai politik terjadi pada tahun 1974, kami semua lari ke Maubessi. Kami tinggal di sana sampai tentara Indonesia menduduki daerah itu. Keluarga kami lalu mengungsi lebih jauh ke selatan, ke daerah sekitar Turiscai. Di sana kami tinggal selama beberapa bulan. Sekitar akhir tahun 1978, pada saat yang bersamaan dengan terbunuhnya pempimpin Fretilin, Nicolau Lobato, tentara Indonesia tiba-tiba mulai mengebom dan membombardir kami dengan roket. Kami pun melarikan diri, ke mana saja hingga saya terpisah dari anggota keluarga saya yang lain. Akhirnya saya mengikuti sekelompok orang yang tidak saya kenal.

‘Dalam pelarian kami sering melihat orang mati. Kematian ada di mana-mana. Aroma jenazah itu seolah tak mau pergi. Belum lagi suara orang menangis akibat kelaparan—tak seorang pun dapat melupakannya. Kami sudah cukup beruntung bila kami dapat makan dua kali sehari. Saat itu kami menggoreng jagung, menumbuknya menjadi tepung, lalu menyimpannya dalam kotak-kotak kue kaleng. Kami memakannya sedikit demi sedikit. Tampaknya semua orang begitu kurus. Banyak orang tewas akibat demam; itulah yang paling jamak terjadi. Kami semua takut pada orang Indonesia begitu pula pada para pemimpin Fretilin. Mereka pun membunuhi orang-orang yang tidak mendukung mereka. Ada beberapa orang yang diculik oleh pihak Fretilin dan kami tidak pernah melihat mereka lagi.

‘Akhirnya, kami berhasil sampai di Fatubola, Maubessi. Di sana saya menemukan Ibu, Nenek, dan adik perempuan saya. Mereka memutuskan untuk menyerahkan diri pada tentara Indonesia. Namun, mereka khawatir bila saya pun turut bersama mereka karena ada kabar bahwa para pemuda akan dibunuh ketika menyerahkan diri. Jadi, mereka memperkenalkan saya kepada keluarga lain dan meninggalkan saya di sana. Dan, karena Fretilin tidak suka bila orang-orang menyerah pada saat itu, mereka harus melakukannya secara diam-diam dan dalam kelompok-kelompok kecil.

Saya lalu melanjutkan hidup saya bersama keluarga yang Ibu perkenalkan. Kami berpindah tempat sepanjang waktu, tidak pernah diam terlalu lama di satu tempat. Dan, meski hidup bersama sebuah keluarga, saya harus mencari makan sendiri. Suatu hari saya pergi dengan seorang teman sebaya untuk mencari makan. Kami berjalan agak jauh dari kamp kami, ke daerah kekuasaan tentara Indonesia. Tiba-tiba senapan mesin menembaki kami hingga kami berlari ke arah yang berbeda tanpa arah dan akhirnya terpisah. Sebutir peluru berhasil menyerempet sisi kepala saya dan memangkas sebagian rambut saya. Pada waktu itu rambut saya panjang, jadi saya sempat bertanya-tanya dalam hati, mengapa kepala saya terasa panas.

Penangkapan dan perekrutan sebagai TBO

Sejumlah tentara mengelilingi saya. Saya tidak tahu apa yang mereka katakan kendati saya tidak merasa takut. Ada banyak anak Timor Leste di kamp tentara Indonesia. Merekalah yang menerjemahkan apa yang tentara Indonesia katakana kepada saya. Mereka mengajukan banyak pertanyaan. Saya tidak ingat semua yang mereka tanyakan, dan saya tidak tahu bagaimana menjawabnya. Mereka terus bertanya apakah saya sendirian. Kemudian mereka memotong rambut saya. Mereka tertawa karena rambut saya pendek di satu sisi (akibat terserempet peluru). Mereka lalu memberi saya baju ganti. Saya merasa seperti seorang tawanan.

Beberapa hari kemudian beberapa orang Timor Leste yang menjadi HANSIP, yakni penjaga sipil yang bekerja untuk orang Indonesia, tiba dengan menunggang kuda dan membawa berbagai persediaan dan beras bagi para tentara. Salah satu dari mereka mengenali saya. Ia mengatakan kepada tentara Indonesia bahwa keluarga saya berada di Maubessi dan bertanya apakah ia bisa membawa saya ke sana. Mereka lalu terlibat dalam pembicaraan serius yang panjang, tapi akhirnya tentara Indonesia mengizinkan saya pergi ke Maubessi.

Jadi, saudara saya itu membawa saya kembali ke Maubessi, yakni ke kamp, tempat pihak militer Indonesia membawa orang yang tertangkap atau yang menyerahkan diri. Di sana saya menemukan ibu, nenek dan adik perempuan saya; mereka semua selamat. Sebagai bahan makanan, kami menerima bantuan berupa jagung dan kacang-kacangan dari Komite Internasional Palang Merah, ICRC. Saat itu satu batalion dari Sumatra-lah yang bertanggung jawab atas Maubessi, tetapi tak lama setelah saya tiba, batalion 725 dari Sulawesi yang mengambil alih.

Adik perempuan saya sudah masuk sekolah yang diselenggarakan oleh tentara Indonesia. Pihak tentara merekrut sejumlah mantan guru Timor Leste untuk mengajar di sana. Tentara Indonesia mengajari para guru itu Bahasa Indonesia, yang selanjutnya harus mengajarkannya kepada para murid. Sekitar satu minggu setelah tiba di Maubessi, ketika saya sedang bermain bersama anak-anak lain di halaman sekolah—meskipun saya belum mendaftar untuk sekolah—seorang tentara, yakni Sersan T, datang ke sekolah dan memanggil nama saya. Dia menyuruh saya untuk pergi bersamanya ke pos tentara. Ia sedang mempersiapkan diri untuk bergabung dalam sebuah operasi dan menyerahkan kepada saya sebuah ransel berisi persediaan, beras, dan lainnya untuk dibawa. Ibu saya datang ke pos untuk protes karena mereka akan membawa saya pergi. Namun, tentara itu mengatakan bahwa setelah menyelesaikan operasi ini, saya bisa pulang ke rumah.

Saya harus membawa pasokan dari Maubessi ke daerah lain dekat Fatubolo. Tempatnya tidak terlalu jauh sehingga Anda dapat melihatnya dari Maubessi, tetapi membutuhkan waktu sekitar empat jam untuk menempuhnya dan medannya juga sulit. Saya merasa sedih dan khawatir. Saya baru saja kembali ke rumah dan sekarang harus pergi lagi. Namun, saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Satu peleton tentara yang terdiri dari 30 prajurit biasanya memiliki sekitar 10-15 TBO—kira-kira satu TBO untuk dua prajurit. Jumlahnya tidak bisa terlalu banyak karena kami selalu berpindah tempat dan tidak ada tempat tidur yang cukup. Kami adalah pembantu mereka dan harus melayani para prajurit yang merekrut kami. Kami harus mengambilkan air, memasak, dan mencuci perkakas makan mereka. Kami pergi bersama para prajurit itu dalam operasi mereka. Kami adalah kuli angkut dan terkadang harus mengangkut beban yang berat. Pada operasi pertama saya, saya ingat kami diserang oleh gerilyawan Fretilin. Saya harus merebahkan diri di belakang prajurit yang saya ikuti, yakni Sersan T, dan bertugas mengisi ulang peluru senapannya. Saya ketakutan. Tembak-menembak itu berlangsung sekitar setengah jam dan kami mengisi senapan itu sampai enam kali. Tidak ada yang tewas dalam operasi ini. Seorang tentara Indonesia tertembak di kepala dan yang lainnya mendapat cedera kaki akibat bambu runcing yang merupakan perangkap buatan para gerilyawan tersebut.

Pada sebuah patroli kami tidak sengaja bertemu dengan sekelompok orang. Para tentara itu menembak mereka semua, tetapi mereka mengecualikan seorang gadis kecil bernama Amelia, yang berusia sekitar dua tahun. Ia separuh Portugis dan sangat cantik. Salah seorang tentara dari peleton kami lalu mengambil dan merawatnya.’

Bacalah lebih lanjut mengenai kondisi dan perlakuan yang diterima Alfredo dan para TBO lain di CAVR report: 7.8.2.1, Nos. 70-80.

Diculik

‘Pada bulan Februari atau Maret 1980 kami tiba di Aileu dan para tentara mulai membersihkan peralatan mereka guna bersiap-siap pulang ke Sulawesi. Beberapa TBO telah dikirim pulang dan TBO yang lebih tua dikirim ke operasi militer yang baru. Tetapi, para tentara mengambil sekelompok TBO, termasuk saya, dan menaikkan kami ke truk yang membawa mereka ke Taibessi, pangkalan militer mereka di Dili. Mereka tidak pernah mengatakan apa alasan mereka membawa saya.

‘Para prajurit dari peleton kami membawa tujuh orang anak ke Dili. Kebanyakan dari mereka TBO, kecuali Amelia yang dibiarkan hidup ketika orangtuanya tewas terbunuh, dan Afonso. Afonso adalah anak seusia saya. Ia berasal dari sebuah kamp, tempat orang-orang Timor Leste yang tertangkap ditahan, di selatan Baucau. Ketika patroli kami melewati kamp itu, seorang tentara bertanya kepada orangtua Afonso apakah ia dapat membawa Afonso serta. Kami tinggal di Taibessi selama sekitar satu minggu. Karena tidak diberi pekerjaan, kami pun bermain bersama, meski saya begitu ingin kembali kepada ibu saya di Maubessi

‘Pada suatu hari, ketika batalion itu sedang berparade, kami mendengar polisi militer mengatakan kepada para tentara bahwa mereka tidak diperkenankan membawa serta anak-anak ke Sulawesi. Setelah itu, para tentara mulai berkemas untuk pergi. Sersan T berkata bahwa saya boleh datang ke pelabuhan untuk melihat mereka pergi. Namun, saya tidak bisa ikut masuk ke mobil begitu saja. Jika polisi militer menemukan saya, mereka tidak akan membiarkan saya masuk ke area pelabuhan. Jadi, katanya, saya harus bersembunyi dalam sebuah kotak. Saya terkejut, tapi saya ingin melihat kapal.

‘Sersan T lalu memasukkan saya ke dalam sebuah kotak besar. Saya tidak benar-benar merasa takut, tapi saya merasa begitu sendirian. Saya bisa melihat keluar dari kotak itu dan mendengar mereka berbicara di dekat saya. Saya merasa diangkat ke truk dan kemudian diangkat lagi. Setelah beberapa waktu saya mencoba untuk keluar. Namun, Sersan T menyuruh saya untuk tetap bersembunyi karena polisi militer datang. Lalu, saya mendengar sirene kapal yang begitu berisik dan, tiba-tiba, saya bisa merasakan perahu itu bergerak. Setelah sekitar 20-30 menit di dalam kotak saya merasa sangat kepanasan dan berkeringat. Akhirnya, Sersan T menyuruh saya keluar. Saya melihat bahwa kami berada di sebuah perahu besar dan kami bertujuh ada di sana. Mereka semua mengatakan bahwa para tentara membawa mereka ke perahu dengan cara memasukkan mereka ke dalam kotak. Kami memandang ke sekeliling dan melihat Dili ada di kejauhan; kami sedang bergerak menjauh dari pantai. Saya tidak tahu bagaimana perasaan yang lain, tapi saya merasa sangat sedih hingga menangis. Saya teringat akan ibu saya di Maubessi dan berpikir bahwa saya mungkin tidak akan pernah punya kesempatan untuk kembali ke sana. Saya tidak pernah melihat mereka lagi sejak saya diambil dari halaman sekolah.

‘Saya melihat banyak anak lain di perahu, meskipun saya tidak tahu berapa banyak. Beberapa anak menangis. Kebanyakan dari kami tidak dapat berbuat apa-apa karena kami begitu mabuk laut. Namun, kami tidak perlu bersembunyi lagi. Setelah sekitar satu minggu kami tiba di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kami menginap di barak selama satu minggu. Itu adalah kejutan budaya yang amat besar. Itu adalah kehidupan yang sepenuhnya berbeda.

Kehidupan di Sulawesi

‘Sersan T membawa saya ke rumah orangtuanya di desa Lamikonga, Kecamatan Kolaka, Kendari. Ia meminta saya memanggilnya ‘ayah’. Saya dipisahkan dari sebagian besar anak lain yang pergi ke berbagai tempat di Sulawesi Tenggara bersama prajurit yang membawa mereka.

‘Pada bulan pertama, keluarga Sersan T merawat saya dengan baik dan mereka membiayai sekolah saya. Akan tetapi, keadaan pun mulai berubah. Ibu dari Sersan T bersikap baik kepada saya, tetapi kakak perempuannya dan anggota keluarga lainnya tidak menyukai saya dan sering memukul saya. Mereka memperlakukan saya seperti seorang budak. Setiap pagi saya bangun pukul enam pagi. Saya harus mengisi wadah-wadah air di rumah dengan air sumur. Sumurnya tidak terlalu jauh, tetapi rumah tersebut tinggi dan ember berisi air harus dibawa ke atas melalui tangga yang panjang. Saya harus menyiapkan makanan untuk 40 ekor bebek peliharaan mereka dan mengumpulkan telur-telurnya. Baru sesudah itu saya mandi dan sarapan. Sekolah dimulai pukul 07.30 dan, untungnya, sangat dekat dengan rumah kami, jadi saya bisa tiba tepat waktu. Sore harinya saya harus mengisi tangki-tangki air lagi. Saya harus melakukan semua ini setiap hari. Saya juga harus pergi dan membantu di sawah.

‘Setelah dua tahun Sersan T menikah dan ia meminta saya untuk tinggal bersamanya. Istrinya sangat baik kepada saya, ia tidak meminta saya bekerja terlalu berat dan memperlakukan saya seperti anggota keluarga. Saya selalu merasa aman di dekatnya. Ia senang ketika saya memanggilnya ‘ibu’. Kadang-kadang ia memberi saya uang tanpa memberitahu suaminya. Ia memiliki seorang adik laki-laki seusia saya, jadi mungkin saya mengingatkannya kepada adiknya. Sesekali saya juga mendapat tugas untuk memasak. Suatu hari ketika saya sedang menggoreng ikan, wajannya tiba-tiba terbalik dan minyak panas pun tumpah ke kaki saya. Bekas lukanya masih ada sampai sekarang. Saya tidak bisa pergi ke sekolah selama tiga bulan. Kemudian ayah angkat saya berubah dan ia memutuskan untuk mengirim saya kembali ke rumah orangtuanya. Segalanya kembali seperti sebelumnya dan saya diperlakukan seperti budak. Selama liburan saya harus bekerja berjam-jam di sawah dan membantu di perkebunan kayu manis mereka.

‘Kendati demikian, saya bekerja keras di sekolah dan berhasil. Saya menyelesaikan sekolah dasar dan langsung melanjutkan ke SMP. Tidak seperti anak-anak lain, saya tidak harus menjalani ujian. Saya murid yang pandai di sekolah dan para guru menyukai saya. Secara khusus saya menyukai biologi dan mampu menghafal dengan baik. Saya pun memenangkan penghargaan sekolah untuk kelas saya. Sampai hari ini saya masih menyimpan piagamnya.

‘Keluarga angkat saya lalu meminta saya untuk menjadi seorang Muslim. Saya tidak bisa berkata apa-apa; saya harus melakukan apapun yang mereka inginkan. Namun, di dalam hati saya tahu siapa saya dan dari mana saya berasal. Di desa saya itu ada pula seorang gadis dari Timor Leste. Penduduk desa menceritakan tentang dia kepada saya. Saya melihatnya, tapi terlalu malu untuk berbicara dengannya.

‘Suatu hari ketika saya berumur 16 tahun, saya mengunjungi seorang teman dan menginap di rumahnya tanpa memberitahu keluarga angkat saya. Saat itu adik perempuan dari Sersan T, yang berusia sekitar 23 tahun, yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga. Ia sangat marah pada saya. Untuk menghukum saya, ia menyuruh saya duduk merunduk di bawah tempat tidur dengan sepotong kayu di bawah lutut saya. Hukuman itu sangat menyakitkan sehingga saya pun menangis. Untunglah, ibunya datang dan menyuruh saya keluar dari bawah tempat tidur. Ia menanyakan banyak hal pada saya, tapi saya diam saja. Hal ini membuatnya marah. Kebetulan saat itu ia sedang menyetrika, jadi ia menyorongkan besi panas itu ke lengan saya hingga terbakar.

Melarikan diri 

‘Saya masih memelihara hubungan dengan Afonso dan Amelia. Ketika saya berumur sekitar 16 tahun, Afonso dan saya memutuskan untuk mencoba melarikan diri dan kembali ke Timor Leste. Kami bertanya kepada Amelia, apakah ia ingin ikut bersama kami, tapi ia bilang ia tidak tahu ke mana ia harus pergi. Orangtuanya telah meninggal dan ia tidak tahu apa-apa tentang keluarganya. Afonso dan saya lalu pergi ke pelabuhan dan bersembunyi di feri yang menuju Ujung Pandang. Namun, tentara yang membawa Afonso datang mencarinya dan menemukan kami. Afonso masih tinggal di Kendari sampai sekarang. Saya sering teringat tentang dia dan Amelia, dan ingin kembali ke sana dan membantu mereka pulang.

‘Sersan T kemudian membawa saya pulang ke rumahnya. Ia mengikat saya, lalu memukul dan menendang saya. Istrinya menangis, tapi ia tidak dapat menghentikan suaminya. Sersan T sering memukulinya juga. Tubuh saya jadi hitam dan penuh memar akibat pemukulan itu. Saat itu saya begitu marah dan hal ini membuat saya berusaha lebih keras lagi untuk melarikan diri.

‘Saya berbicara dengan seorang tentara lain yang saya kenal dan mengatakan kepadanya bahwa saya akan melarikan diri. Pasti dialah yang memberitahu Sersan T tentang hal ini. Sersan T mengatakan bahwa ia akan membunuh saya jika saya mencoba melarikan diri lagi. Ia memukul saya sampai wajah saya hitam dan bengkak. Malam itu, dengan wajah yang bengkak parah dan dengan baju yang melekat di badan, saya merayap keluar dari rumah. Saya berjalan melintasi sawah sekitar tiga kilometer ke arah kota. Saat itu lewat tengah malam. Saya menemukan sebuah rumah yang tengah dibangun. Di sana saya berbaring di atas bahan-bahan bangunan, mencoba untuk tidur. Saya bangun sekitar pukul empat pagi dan saya melihat mobil Sersan T. Ia sedang berkeliling mencari saya. Saya berjalan lagi satu kilometer, lalu naik ke sebuah bus. Mereka membiarkan saya naik tanpa tiket. Mungkin mereka melihat bahwa saya baru saja disiksa dan ingin membantu saya. Perjalanan dari kota itu ke pelabuhan memakan waktu sekitar enam jam.

‘Rupanya tidak ada kapal dari pelabuhan tersebut yang menuju Timor Leste. Beberapa orang merasa kasihan melihat saya. Wajah saya masih menghitam dan bengkak sehingga mereka membiarkan saya ikut dengan perahu mereka ke Samarinda, Kalimantan. Saya bekerja di dapur untuk membayar perjalanan saya. Ini adalah pertama kalinya saya belajar bagaimana orang tinggal di atas perahu. Saya berteman dengan mereka dan, setibanya di sana, mereka mengenalkan saya kepada orang-orang yang lalu mengizinkan saya tinggal bersama mereka. Saya bekerja dengan mereka di pasar gelap. Kami mendayung perahu untuk menyambut dan mengangkut barang-barang elektronik dan baju-baju dari kapal sebelum kapal itu tiba di pelabuhan. Kami menyelundupkan barang-barang tersebut untuk menghindari pajak sehingga kami dapat menjualnya dengan harga murah. Karena itu, saya lalu punya baju-baju bagus dan sebuah jam tangan.

‘Meskipun demikian, saya memutuskan untuk kembali bersekolah dan menyelesaikan SMP. Jadi, saya mencari pekerjaan lain di toko sayur yang mengimpor sayuran dari seluruh pelosok Indonesia untuk dikirim ke berbagai perusahaan tambang besar di Kalimantan. Saya mulai bekerja pagi-pagi sehingga tidak bisa pergi ke sekolah pada umumnya. Jadi, saya mendaftarkan diri di sekolah swasta dan bersekolah di sore hari. Biayanya Rp5.000 per bulan, yang sebenarnya cukup mahal. Saya suka pergi ke pelabuhan untuk membantu mengumpulkan sayuran; banyak yang datang dari Surabaya. Saya berkenalan dengan beberapa orang di perahu yang membawa sayur-mayur, dan saya mendengar dari mereka bahwa ada kapal yang berangkat dari Surabaya ke Timor Leste. Saya tinggal di Samarinda selama hampir dua tahun, sampai berumur hampir 19 tahun. Saya merasa baik-baik saja selama tinggal di sana karena saya mandiri.

‘Suatu hari, tak lama setelah menamatkan SMP, saya mendengar bahwa ada kapal yang akan berangkat ke Surabaya. Saya pun memutuskan untuk pergi dengan kapal itu. Saya belum menerima ijazah SMP, tapi saya tidak peduli. Dengan bermodalkan baju di badan dan upah kerja hari itu, saya pergi naik kapal itu menuju Surabaya. Orang-orang di kapal itu mengenal saya sehingga mereka mengizinkan saya bekerja di kapal untuk membiayai perjalanan saya. Butuh waktu empat malam untuk sampai ke Surabaya. Setibanya di sana saya tinggal di pelabuhan dan tidur di kapal tersebut, sementara saya mencari kapal yang menuju Timor Timur. Saya mendengar ada banyak pencuri di sana. Oleh karena itu, saya menyimpan dompet saya di celana dalam, meski uang saya pun tidak banyak.

‘Setelah empat hari saya ditemukan oleh petugas bea cukai. Mereka datang untuk memeriksa perahu kami dan menemukan saya di dapur. Saya tidak punya surat identitas diri. Jadi, mereka membawa saya ke Surabaya, lalu menanyai saya. Saya katakan kepada mereka bahwa saya datang dari Samarinda dan ingin pergi ke Timor Leste untuk mendapatkan pekerjaan. Saya tidak memberitahu mereka bahwa saya ini orang Timor Leste. Saya benar-benar takut mereka akan mengirim saya kembali ke Sersan T di Sulawesi. Untungnya, mereka pun membiarkan saya pergi. Namun, saya tidak berhasil menemukan kapal (ke Timor Leste) dan uang saya sudah hampir habis.

Surat dari Komandan

‘Saya memutuskan bahwa satu-satunya cara yang dapat saya lakukan adalah pergi menemui komandan militer dan meminta bantuannya. Saya pun pergi markas Komando Daerah Militer (Kodam) Surabaya. Saya sudah tahu caranya mendekati para tentara. Saat itu, saya mengatakan kepada mereka bahwa saya perlu berbicara secara pribadi dengan sang komandan. Ia ternyata sedang tidak di kantor selama dua hari, tapi saya terus mendatangi markasnya. Ketika ia datang, saya sedang menunggunya dan ia memberi isyarat kepada saya untuk menemuinya. Saya katakan bahwa saya ingin menyampaikan suatu hal yang penting kepadanya sehingga ia mengundang saya masuk. Sebelum saya menjelaskan apa-apa, saya mengatakan bahwa saya membutuhkan bantuannya. Kemudian saya menceritakan kisah hidup saya. Lalu, ia mengatakan kepada saya untuk datang kembali. Tak hanya itu, ia memberi saya makan malam dan memberi saya sebuah surat.

‘Ketika saya kembali ke pelabuhan dengan surat itu, semua orang tiba-tiba sibuk melayani saya, termasuk polisi dan petugas pelabuhan. Mereka mengatur agar saya mendapatkan tiket kapal. Kapten kapal itu pun sangat baik kepada saya. Para awak kapal pun baik, dan saya membantu mereka. Mereka melihat saya bekerja dengan baik di kapal sehingga mereka berkata bahwa, jika saya tidak bisa mendapatkan pekerjaan di Timor Leste, saya boleh bekerja di kapal itu. Setelah empat hari dan lima malam kami pun tiba di Dili. Saat itu tahun 1986 dan saya berusia 19 tahun. Saya masih ingat betul, hari itu adalah hari Sabtu.

‘Kami harus menunggu tiga hari di lepas pantai karena pelabuhan sangat sibuk waktu itu. Namun, akhirnya kami dapat juga merapat ke pelabuhan. Saya buru-buru menyambar tas dan melompat ke darat. Saya begitu bahagia dapat melihat Dili lagi. Namun, Dili sudah berubah begitu banyak dalam enam tahun itu. Seorang teman di perahu sempat berkata, “Mau ke mana kamu dengan tasmu, sebaiknya kamu tinggalkan saja di sini.” Tapi, saya berkata,” Saya tahu ke mana saya akan pergi “.

‘Hal pertama yang saya lakukan adalah mencari kendaraan ke Maubessi, yang membutuhkan waktu satu hari. Namun, ternyata saya perlu surat jalan. Tiba-tiba saya teringat akan surat dari Sang Komandan di Surabaya dan menunjukkannya. Nah, Anda semestinya melihat bagaimana reaksi orang-orang itu ketika mereka melihat surat tersebut. “Dari mana kamu mendapatkannya?” tanya mereka. Mereka begitu terkejut, lalu benar-benar membantu saya. Setibanya di Maubessi saya langsung ke rumah ibu saya. Namun, rumah itu telah ditinggali orang lain. Saya mengalami kesulitan berbicara dengan orang-orang di sana karena saya tidak bisa berbicara bahasa Tetun. Orang-orang hanya menatap saya dengan penuh tanya. Saya pun merasa sangat sedih. Lalu, saya pergi ke pasar. Saya melihat seorang paman, tapi ia tidak mengenali saya. Tiba-tiba seseorang memanggil saya, “Aku Thomas, temanmu. Masih ingat aku kan?” Ia lalu mengatakan kepada saya di mana ibu saya tinggal. Saya begitu bahagia karena telah menemukan seseorang yang mengenal saya sehingga saya kini tahu di mana ibu saya berada. Ibu saya begitu terkejut melihat saya karena ia pikir saya sudah mati. Setiap tahun ia selalu meletakkan bunga untuk saya di hari perayaan untuk orang yang telah meninggal. Akan tetapi, saya tidak bisa berbicara dengannya. Ia tidak bicara Bahasa Indonesia dan saya tidak tahu bahasa Tetun. Akhirnya, Thomas yang harus menerjemahkan untuk kami. Saya diperkenalkan dengan semua anggota keluarga. Ibu saya punya seorang saudara di Dili dan keluarga saya menyarankan saya untuk mencoba mencari pekerjaan padanya.

‘Jadilah saya kembali ke Dili dan menemukan rumah paman saya. Saya bisa mengerti pembicaraan mereka sedikit. Mereka berkata, “Ia bilang namanya Alfredo.” Mereka juga berkata,” Nah, ada Alfredo yang adalah anak si anu dan si anu, dan seorang Alfredo yang adalah anak dari keluarga yang lain. Oh ya, dan ada Alfredo yang dibawa ke Indonesia. “Ketika saya mendengar mereka mengatakan hal ini, saya melompat dan berkata, “Itu saya.” Mereka lalu mengelilingi saya dan memeluk saya. Mereka mengatakan ayah saya telah mencoba mengirim surat. Mereka semua mengira saya sudah mati. Paman saya kemudian mengajak saya bekerja di bisnis penebangan kayunya. Saya bekerja di sana sebentar, sebelum saya menjadi sopir dan belajar bahasa Tetun

Pelarian lainnya 

‘Pada tahun 1987 saya bergabung dengan gerakan bawah tanah. Saya melakukan banyak misi untuk mereka. Saya senang berlayar. Karena saya terampil bekerja di kapal, mereka memberi saya tugas untuk merusak beberapa kapal Indonesia di pelabuhan. Ya, saya memang nakal di laut, tapi itu adalah perintah bagi saya. Pada tahun 1995 saya diberi tugas untuk memimpin sebuah kelompok yang terdiri dari 18 orang Timor Leste ke Australia dengan kapal. Kami adalah kelompok Timor Leste pertama (dan satu-satunya) yang tiba di Australia dengan kapal. Sebuah kapal lain mencoba bertolak ke Australia, tetapi mereka tertangkap sebelum meninggalkan Timor Leste.’

Alfredo Alves Reinado saat mengikuti acara dengar kesaksian di CAVR tentang “Anak-anak dan konflik”, Dili, 29-30 Maret 2004.

Alfredo at CAVR

Alfredo (kiri) pada saat diambil sumpahnya; Pendeta Agustinho de Vasconselos dari CAVR memegang Alkitab

Alfredo at CAVR2

Alfredo saat memberikan kesaksian