Foto ini diambil tahun 1977 ketika Henrique besama duapuluah anak Tmor Timor mengunjungi Presiden Suharto dan isterinya di rumah mereka 3 SEptember 1977.
Petrus Kanisius menceritakan hilangnya Henrique Araujo:
‘Pada suatu hari datanglah seorang wartawan Suara Merdeka, sebuah koran Jawa Tengah, untuk mewawancari suster di asrama kami. Mungkin suster itu berusaha untuk menarik perhatian umum kepada situasi kami karena dalam artikel itu disebutkan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas kami. Dalam artikel itu juga disebutkan bahwa anak-anak Timor Leste makan tumbuh-tumbuhan dan umbi-umbian, yakni makanan yang orang Jawa tidak pernah makan dan yang diperuntukkan bagi hewan. Membaca artikel itu kami benar-benar marah kepada suster yang mengatakan bahwa kami makan makanan hewan, juga kepada wartawan yang menulis secara demikian. Kami menolak pergi ke sekolah selama seminggu.
‘Lima orang pelajar tidak tahan lagi dan melarikan diri. Mereka naik bus kendati tidak punya tujuan, apalagi uang. Ketika ditanya oleh kondektur bus, mereka menjawab, “Kami anak-anak Presiden,” sambil berharap tidak harus membayar. Karena publikasi di media, banyak orang telah mendengar tentang “anak-anak Presiden.” Para suster lalu menghubungi pihak kepolisian dan pegawai bus telah diminta untuk mencari mereka sehingga mereka tidak dapat pergi jauh. Bagaimanapun, salah satu dari kelima anak itu, yakni Henrique Araujo dari Same, menghilang.Saya merasa sedih karena Henrique, tapi tidak ada usaha untuk mencarinya. Tanpa memberitahu para suster, bersama sejumlah anak lain, saya pergi ke Departemen Kesejahteraan Sosial dan protes. Staf di sana hanya menjawab, “Biarkan saja dia hilang. Mati. Tidak perlu kalian cari dia.” Kami lalu menulis surat protes kepada DPR, juga kepada MPR dan Presiden. Namun, tak ada yang terjadi dan saya tidak pernah lagi mendegar kabar tentang Henrieque sejak saat itu. Pemerintah bersikap tak peduli. Saya pun merasa hidup kami tidak ada artinya di mata mereka. Kami menderita di Timor Leste, lalu dikirim ke asrama St.Thomas dan menderita juga. Tak hanya itu, kami pun harus menderita kehilangan salah satu teman kami.’
‘Kejadian hilangnya Henrique membuat kami berpikir tentang situasi kami. Kami kini mengerti bahwa tidak ada yang peduli pada kami. Jadi, kami sepakat untuk melakukan semua yang suster perintahkan—bekerja, rajin berlajar, dan tidak menuntut apa-apa—atau kami akan mengalami nasib seperti Henrique. Suatu hari beberapa mahasiswa yang belajar di Yogyakarta datang berkunjung dan mengobrol dengan kami. Mereka adalah Domingos Maia dan Armindo Maia. Hal ini benar-benar menolong dan situasi jadi sedikit lebih baik. Setidaknya, ketika kami pulang dari sekolah, kami diizinkan makan sebelum pergi ke kebun. Para suster lalu memutuskan bahwa kelompok kami perlu dibagi, sebagian ke Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Saya sendiri tetap tinggal di St. Thomas. Setiap anak bekerja keras, tapi para suster tetap tidak mengakui bahwa anak-anak Timor Timur pun cerdas.
‘Sudah sejak lama kami tidak pernah lagi berhubungan dengan pemerintah dan banyak orang, termasuk orang-orang berada dan bintang film, datang serta bertanya apakah mereka boleh mengadopsi kami. Namun, para suster menjelaskan kepada orang-orang itu bahwa, jika mereka ingin membantu, sebaiknya mereka melakukannya dengan menyumbang ke St. Thomas.’