Iqbal Alcino Menezes

Tempat asal: Uatolari Viqueque

Iqbal Alcino Menezes

Iqbal Alcino Menezes, 2006

‘Saya lahir pada tahun 1978 di Tatilari, Uatolari, Viqueque. Ayah saya adalah komandan Falintil, Manuel Menezes, dengan nama samaran ‘Lafaek’. Ketika invasi Indonesia, ibu dan ketiga saudara saya tinggal di hutan bersama ayah, tapi kemudian ayah tidak mampu menjaga kami lagi. Ia mencarikan tempat persembunyian untuk kami dan meninggalkan kami di sana. Sekali dalam beberapa minggu ia datang untuk membawa makanan. Pada tahun 1983 kami tertangkap. Kami dibawa ke Uatolari, tempat saya bersama ibu dan ketiga saudara saya dipenjara selama setahun. Terkadang kami tidak mendapat makan seharian.

‘Pihak militer kemudian memutuskan untuk mengirim kami ke Pulau Atauro untuk menekan Ayah agar menyerah. Ibu saya, seorang keturunan keluarga terpandang dari Quelicai, berusaha menyuap komandan Babinsa (Bintara Pembina Desa) dengan jam tangan dan emas. Ia juga menjahit untuk memenuhi kebutuhan kami. Pada tahun 1984 ayah kami tewas terbunuh.

Pindah agama

‘Pada tahun 1991, ketika berumur 13 tahun, saya memutuskan untuk pindah agama dari Katolik menjadi Islam dan memakai nama ‘Mohammad Iqbal Alcino Menezes’. Saya punya banyak teman muslim dari Indonesia. Ketika saya memberitahu Ibu bahwa saya sudah menjadi muslim, ia marah sekali. Suatu hari saya mengambil sarungnya untuk saya jadikan alas sembahyang di masjid.

‘Pada saat itu saya belajar di SMP lokal. Di sekolah itu saya mempunyai guru yang mengajar seni rupa sekaligus agama Katolik. Ia lalu menyadari saya menghadiri pelajaran seni rupa, tapi tidak pernah lagi ikut pelajaran agama Katolik sehingga ia marah. Pastor kami pun marah kepada saya. Ia yakin bahwa saya disuap untuk menjadi muslim dan menawari saya untuk bersekolah di Italia.

‘Guru pelajaran agama Islam menolak saya mengambil mata pelajarannya. Ia takut hal ini akan menjadi masalah bagi komunitas muslim di sana, akibat seorang Timor Leste yang berpindah agama. Seorang polisi Indonesia mengetahui keadaan ini dan mencoba membantu saya.

‘Komandan militer di Timor Leste datang dengan helikopter ke Uatolari guna menyelesaikan masalah yang timbul akibat keinginan saya untuk pindah agama. Pemimpin agama Katolik setempat melaporkan hal ini kepada Gurbenur, Mario Carrascalão, yang menyerahkan kasus ini kepada bupati Viqueque. Penasihat militer untuk masalah sosial dan politik lalu dipanggil untuk berdiskusi dengan camat Uatolari, pastor, kepala sekolah, dan kepala desa dari enam kampung. Pada pertemuan tersebut mereka bertanya pada saya mengapa saya ingin menjadi muslim. Saya hanya berkata bahwa saya ingin dan tidak ada yang memaksa saya. Penasihat masalah politik, yang berasal dari Jawa, berkata pada saya bahwa hukum di Indonesia melarang anak-anak pindah agama tanpa persetujuan orangtua. Saya mulai menangis karena semua pertanyaan ini.

Dikirim pergi

‘Kemudian pegawai masjid di Uatolari mengatur kepindahan saya ke Dili. Di sana saya tinggal di Yayasan Yakin dan belajar di sekolah Islam yang dijalankan oleh Masjid An-Nur. Lalu, beberapa orang di Uatolari mengancam untuk membakar rumah kami, masjid, dan rumah orang-orang muslim Indonesia yang tinggal di sekitar masjid. Selama beberapa waktu para muslim tidak diizinkan menggunakan pengeras suara atau spanduk di tempat umum. Selama tahun 1991 tidak ada yang terjadi. Namun, pada September 1995, terjadi kerusuhan di beberapa tempat dan rumah kami dibakar, begitu juga masjid dan sekolah agama Islam di Uatolari.

‘Setelah tiga bulan, Yayasan Yakin mengirim saya untuk belajar di Indonesia. Saya pergi bersama enam pelajar lain. Kami dibawa ke acara resepsi yang dihadiri oleh Abdullah Hamid, Kepala Hubungan Masyarakat, Departemen Agama Dili. Ia menjadi saksi atas sumpah kami bahwa kami akan belajar dan kembali untuk bekerja di Timor Leste. Sebuah spanduk dipasang di sebuah jalan di Dili, mengumumkan keberangkatan kami, yang bertuliskan ‘Pelepasan anak-anak ke Malang’. Kelompok kami benar-benar unik di kalangan pelajar yang dikirim oleh Yayasan Yakin. Kami sedikit lebih tua daripada rata-rata, dengan saya yang berumur 13 sebagai yang paling muda. Anak-anak yang dikirim oleh Yayasan Yakin umumnya lebih muda dan kepergian mereka tidak dipublikasikan. Kami dipilih karena prestasi kami dan dikirim ke sekolah terkenal di Malang. Kami juga lebih pandai ketimbang rata-rata. Semua berhasil masuk perguruan tinggi, kecuali satu orang. Beberapa malah lulus pasca-sarjana dan satu orang menerima beasiswa ke Malaysia. Ketika menuntut ilmu di Indonesia, saya tetap memelihara hubunga dengan ibu saya. Seorang ustad dari Uatolari yang tinggal di Jawa Timur mengunjungi kami dan membawakan surat-surat kami untuk dibawa ke Timor Leste.

‘Setelah menamatkan sekolah di Malang, saya melanjutkan sekolah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Pada awal tahun 2002 saya memutuskan untuk pulang kampung guna menghadiri hari proklamasi kemerdekaan pada tanggal 20 Mei. Saya memimpin sebuah kelompok yang beranggotakan sepuluh orang muslim Timor Leste, beberapa di antaranya anak-anak, yang ingin turut hadir dalam perayaan itu. Dalam perjalanan kami mengalami masalah di perbatasan antara Timor Barat dan Timor Leste: orang Timor Leste pendukung Indonesia, termasuk para mantan milisi, mencoba mencegah orang Timor Leste menyeberang ke Timor Leste. Untungnya, kami berhasil menghindari mereka.’

Tahun 2004 Iqbal Menezes adalah Pemimpin United Islamic Centre of East Timor.