Petrus Kanisius Antonio Algeria

Tempat asal: Maubessi, Ainaro

Petrus Kanisius Antonio Algeria

Petrus Kanisius, 2004 (Foto: Helene van Klinken)

‘Orangtua saya meninggal beberapa tahun sebelum invasi Indonesia. Kakak laki-laki sayalah yang merawat saya dan kedua adik saya. Ketika tentara Indonesia sampai di Maubessi, kami lari bersembunyi di hutan. Pada tahun 1977 kami tertangkap dan dikirim ke Aileu. Di sana saya pun dapat melanjutkan sekolah lagi di kelas empat. Tidak lama kemudian, tentara Kodim mendata anak-anak di bawah umur sepuluh tahun yang tidak mempunyai orangtua lagi. Saat itu saya berumur sepuluh tahun. Saudara sepupu saya yang berusia tujuh tahun dan saya sendiri terpilih dari antara orang-orang Maubessi yang tinggal di kamp konsentrasi Aileu; dua anak lain berasal dari Aileu.

‘Pada bulan April 1977 para tentara membawa kami berempat ke Dili. Di sana saya mulai bersekolah kembali dan dua minggu kemudian kakak laki-laki saya datang mengunjungi saya.

Yayasan Seroja

‘Di dekat Yayasan Seroja ada gedung berlantai lima yang digunakan sebagai markas tentara. Setiap hari Jumat dan Minggu para tentara dari markas itu datang mengunjungi kami. Mereka mengajari kami tentang integrasi dan mengajari kami menyanyikan lagu-lagu nasional. Kami tidak merasa takut, tapi disiplin di sana sangatlah ketat. Kami harus mengikuti rutinitas yang ketat, tanpa perkecualian bagi anak-anak yang lebih muda.

‘Menjelang akhir bulan Agustus, para staf yayasan memberitahu kami bahwa kami akan disekolahkan di Jawa. Mereka pun mulai mengatur semua hal yang kami perlukan untuk perjalanan itu, tapi mereka tidak memberitahu keluarga kami tentang pengiriman ini. Kami semua berjumlah 20 anak. Beberapa di antara kami sudah tidak memiliki orangtua lagi, tapi masih memiliki sanak-saudara di kampung. Ada juga beberapa yang orangtuanya masih bersembunyi di hutan. Sebagian dari anak-anak itu terpisah dari orangtua mereka ketika mereka melarikan diri dari serangan. Jika tentara menemukan anak yang hilang, terkadang mereka memberi anak-anak itu nama mereka sendiri. Seorang anak di kelompok kami mengalaminya; ia dipanggil “Gatot”. Saya adalah yang tertua di kelompok itu dan, karena itu, duduk di kelas yang paling tinggi di sekolah.

Jakarta

‘Sekitar satu minggu kemudian, yakni pada 1 September 1977, kami berangkat ke Jakarta. Letnan Kolonel Mulyadi dari sulawesi dan Gubernur Timor Leste waktu itu, Arnando dos Reis Araujo, ikut mengantar kami. Sampai di Jakarta kami dijemput dengan bus khusus dari Istana Negara dan dikawal tentara menuju Yayasan Katolik Vicentius (dari Ordo Fransiskus), tempat kami tinggal beberapa hari. Kami diberi seragam berwarna kuning yang harus kami pakai ke manapun kami pergi. Program khusus pun disusun untuk kami. Ke mana pun kami pergi ada tentara yang menemani. Saya tidak tahu mengapa kami selalu diantar tentara, kami hanyalah anak kacil. Di Jakarta kami mengunjungi berbagai objek wisata, seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pada 3 September 1977 tentara-tentara itu membawa kami bertemu dengan Presiden Soeharto dan istrinya di kediaman mereka.

‘Dalam perjalanan pulang dari sana, kami diberi hadiah tas sekolah, sepatu, dan baju. Nama kami tertera pada semua barang itu dan ukurannya rasanya begitu pas. Kami kembali ke Yayasan Vincentius dan pada malam harinya kami berangkat ke Semarang, Jawa Tengah, dengan kereta. Kami sampai cukup awal dan dibawa ke markas tentara Gatot Subroto. Sekitar pukul tujuh pagi kami berangkat lagi ke Ungaran, sekitar 20 km di sebelah selatan. Menurut rencana, kami dikirim ke Yayasan St. Thomas yang dikelola Kesusteran ADSK (Abdi Dalem Sang Kristus).

Yayasan St.Thomas, Jawa Tengah

‘Lorong masuk gedung St. Thomas dihiasi dengan berbagai jenis bunga dan lantainya dialasi karpet. Hadir saat itu Gubernur Timor Leste, Gubernur Jawa Tengah, menteri kesejahteraan social, dan beberapa pejabat pemerintah lain. Secara resmi kami diserahkan kepada para suster dari yayasan itu.

‘Keluarga kami tidak ada yang tahu keberadaan kami di Jawa sampai setahun kemudian. Pada tahun 1978, Agustinho, salah satu anggota kelompok dari Aileu, meninggal dunia. Surat pemberitahuan lalu dikirim ke Aileu untuk memberitahu keluarganya. Keluarga di sana rupanya mengira sayalah yang meninggal. Mereka pun mulai menyiapkan upacara pemakaman untuk memanggil arwah. Saya juga mengirim surat yang sampai kira-kira pada waktu yang bersamaan. Itulah saat ketika keluarga saya tahu bahwa saya ada di Jawa. Kakak laki-laki tertua saya tidak dapat berkunjung ke Dili untuk menjenguk saya pada perjalanan pertama karena ia dipaksa bergabung dalam Pertahanan Sipil (Hansip).

‘Pada awalnya segala sesuatu berjalan baik di Yayasan St. Thomas, tapi lambat laun masalah pun mulai bermunculan. Kami mulai menunjukkan bahwa kami adalah orang Timor Timur. Kami tidaklah penurut seperti pelajar asal Jawa yang tinggal di sana: kami nakal, sungguh nakal, dan para suster di sana merasa terganggu oleh kami. Ternyata baru kami ketahui kemudian bahwa para suster itu tidak menerima cukup uang untuk menutupi segala pengeluaran untuk kami. Menurut para suster itu, jumlah yang mereka terima dari pemerintah adalah Rp13.000 per bulan, yang tentunya tidak cukup untuk membeli makanan dan minuman, apalagi pakaian, sabun, buku, uang sekolah, dan biaya-biaya lainnya. Tidak semua pelajar yang tinggal di sana datang dari keluarga miskin. Pada tahun 1980, ada pelajar yang mampu membayar Rp70.000-100.000 per bulan. Jumlah ini lima kali lipat lebih besar daripada yang diterima para suster itu dari pemerintah untuk kami. Oleh karena itu, para suster berusaha menutupi biaya dari pelajar yang kurang mampu dengan uang sekolah dari pelajar itu. Namun, para suster itu khawatir perilaku kami akan membuat pelajar-pelajar yang lebih mampu meninggalkan sekolah itu. Pak Presiden telah berjanji, ketika kami berkunjung ke Istana Negara, bahwa semuanya akan dibiayai oleh pemerintah. Mungkin Yayasan St. Thomas tidak menerima uang itu, saya tidak tahu, tapi saya merasa dikhianati.

Tinggal terpisah

Henrique

Henrique Araujo, 1977

‘Pada tahun 1983, ketika saya masih berusia 15 tahunan, kami pindah dari asrama utama ke asrama lain yang lebih jauh dan yang terletak di sebuah bukit kecil. Asrama itu dibangun untuk kami oleh pemerintah Semarang. Kami tinggal di sana bersama anak-anak yang berstatus sama dengan kami, yakni anak yatim-piatu dan anak-anak yang tidak jelas siapa ayahnya. Kami tidak lagi bisa makan dan berbaur dengan anak-anak lain. Para suster yang mengurus kami berkata bahwa kami harus belajar mandiri. Saya tidak paham apa artinya itu, tapi tak lama kemudian saya menyadarinya. Kami dibagi ke dalam kelompok-kelompok dan, pagi hari sebelum sekolah dan siang seusai sekolah, kami harus bekerja. Kami harus merawat kebun yang ditanami ubi dan memelihara pohon-pohon buah. Sebelum sekolah kami minum teh dan makan sedikit camilan yang kami kumpulkan, seperti ubi atau singkong. Seusai sekolah kami harus bekerja lagi. Kami hanya menerima makan besar pada pukul tujuh malam. Namun, makanan seolah tak pernah cukup dan kami selalu merasa lapar. Jika kami meminta makanan, mereka akan mengatai kami rakus.

‘Suatu hari sesudah sekolah, ketika kami sedang bekerja di kebun dan merasa sangat lelah dan haus, kami memanjat sebuah pohon kelapa dan memakan beberapa buah. Ketika seorang suster membawakan kami makanan dengan Vespa-nya pada pukul empat sore, entah bagaimana ia tahu bahwa kami telah mengambil buah dari pohon-pohon itu. Ia lalu pergi ke sungai kecil, tempat kami membuang kulit buah. Ia sangat marah pada kami dan menanyai kami satu demi satu, siapa yang bertanggung jawab. Sebagai anak yang paling tua, saya bilang bahwa sayalah yang menyuruh mereka mengambil buah. Sebagai hukuman saya harus berlutut di bawah pohon itu selama satu jam dan anak-anak yang lain harus menunggu saya untuk makan. Ketika suster itu kembali, ia melihat bahwa kaki saya kotor akibat berlutut, jadi kami diizinkan untuk mulai makan. Sebetulnya, seorang asisten muda, yang diperintahkan untuk mengawasi saya, telah menyuruh saya untuk membuat kaki saya kotor guna meyakinkan si suster.

Hilangnya Henrique Araujo

‘Pada suatu hari datanglah seorang wartawan Suara Merdeka, sebuah koran Jawa Tengah, untuk mewawancari suster di asrama kami. Mungkin suster itu berusaha untuk menarik perhatian umum kepada situasi kami karena dalam artikel itu disebutkan bahwa pemerintah bertanggungjawab atas kami. Dalam artikel itu juga disebutkan bahwa anak-anak Timor Leste makan tumbuh-tumbuhan dan umbi-umbian, yakni makanan yang orang Jawa tidak pernah makan dan yang diperuntukkan bagi hewan. Membaca artikel itu kami benar-benar marah kepada suster yang mengatakan bahwa kami makan makanan hewan, juga kepada wartawan yang menulis secara demikian. Kami menolak pergi ke sekolah selama seminggu.

‘Lima orang pelajar tidak tahan lagi dan melarikan diri. Mereka naik bus kendati tidak punya tujuan, apalagi uang. Ketika ditanya oleh kondektur bus, mereka menjawab, “Kami anak-anak Presiden,” sambil berharap tidak harus membayar. Karena publikasi di media, banyak orang telah mendengar tentang “anak-anak Presiden.” Para suster lalu menghubungi pihak kepolisian dan pegawai bus telah diminta untuk mencari mereka sehingga mereka tidak dapat pergi jauh. Bagaimanapun, salah satu dari kelima anak itu, yakni Henrique Araujo dari Same, menghilang.Saya merasa sedih karena Henrique, tapi tidak ada usaha untuk mencarinya. Tanpa memberitahu para suster, bersama sejumlah anak lain, saya pergi ke Departemen Kesejahteraan Sosial dan protes. Staf di sana hanya menjawab, “Biarkan saja dia hilang. Mati. Tidak perlu kalian cari dia.” Kami lalu menulis surat protes kepada DPR, juga kepada MPR dan Presiden. Namun, tak ada yang terjadi dan saya tidak pernah lagi mendegar kabar tentang Henrieque sejak saat itu. Pemerintah bersikap tak peduli. Saya pun merasa hidup kami tidak ada artinya di mata mereka. Kami menderita di Timor Leste, lalu dikirim ke asrama St.Thomas dan menderita juga. Tak hanya itu, kami pun harus menderita kehilangan salah satu teman kami.’

‘Kejadian hilangnya Henrique membuat kami berpikir tentang situasi kami. Kami kini mengerti bahwa tidak ada yang peduli pada kami. Jadi, kami sepakat untuk melakukan semua yang suster perintahkan—bekerja, rajin berlajar, dan tidak menuntut apa-apa—atau kami akan mengalami nasib seperti Henrique. Suatu hari beberapa mahasiswa yang belajar di Yogyakarta datang berkunjung dan mengobrol dengan kami. Mereka adalah Domingos Maia dan Armindo Maia. Hal ini benar-benar menolong dan situasi jadi sedikit lebih baik. Setidaknya, ketika kami pulang dari sekolah, kami diizinkan makan sebelum pergi ke kebun. Para suster lalu memutuskan bahwa kelompok kami perlu dibagi, sebagian ke Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Saya sendiri tetap tinggal di St. Thomas. Setiap anak bekerja keras, tapi para suster tetap tidak mengakui bahwa anak-anak Timor Timur pun cerdas.

‘Sudah sejak lama kami tidak pernah lagi berhubungan dengan pemerintah dan banyak orang, termasuk orang-orang berada dan bintang film, datang serta bertanya apakah mereka boleh mengadopsi kami. Namun, para suster menjelaskan kepada orang-orang itu bahwa, jika mereka ingin membantu, sebaiknya mereka melakukannya dengan menyumbang ke St. Thomas.’

Baca juga:

Petrus Kanisius Antonio Algeria

Petrus Kanisius, Audiensi Publik CAVR ‘Anak-anak dalam konflik’, Dili, 29-30 Maret 2004. Bersamanya adalah mantan anggota staf Panti Asuhan Seroja, Maria Margarida Babo (Foto: Helene van Klinken)

Petrus Kanisius Antonio Algeria menghabiskan waktu tujuh belas tahun untuk belajar di Jawa Tengah. Ia kembali ke Timor Timur setelah lulus dari Sekolah Filsafat, Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, pada tahun 1994. Sejak tahun 1999 ia menjabat Kepala Sekolah di SMP 10 Desember di Comoro, Dili.

Henrique with Timorese children at home of President Suharto

Duapuluh anak Timot timur mengunjungi rumah Presiden Suharto, 1977 (Foto: Kompas 5/9/77)