Rafael Urbano Rangel Soares

Rafael Urbano Rangel Soares

Rafael Urbano Rangel Soares dan anaknya

Tempat asal: Uma-Qui’ic Beobe, Raihun, Viqueque

Rafael Urbano masih bersaudara dengan Cipriano.

Karena orangtua Rafael  Urbano telah meninggal, seorang anggota keluarga lalu memutuskan untuk menerima tawaran dari Yayasan Dharmais dan mengirim Urbano serta Cipriano ke Jawa.

Rafael Urbano:

‘Tahun 1977 saya meninggalkan Viqueque bersama sepupu saya yang lebih muda, Cipriano. Kami dikirim ke Panti Asuhan Seroja di Dili. Tak lama kemudian datanglah istri seorang tentara untuk mengadopsi Capriano, sementara saya tetap tinggal di panti selama tiga tahun. Pada tahun 1979 saya bersama sembilan anak lain dikirim ke PPATN (Panti Penyantunan Anak Taruna Negara) milik Departemen Kesejahteraan Sosial (Depsos) di Cimahi, Bandung. Di sana saya merasa asing, meski sebagian besar dari kami tinggal bersama di perumahan panti itu. Kami tidak pernah berbicara dalam bahasa kami ataupun mengirim surat ke Timor Leste. Kami dibesarkan dalam budaya Sunda di Jawa Barat, berbicara dalam bahasa Sunda selancar berbahasa Indonesia. Pelan-pelan kami lupa pada bahasa kami, bahasa Tetun. Saya merasa seolah saya ini dicuci otak, tapi apalagi yang dapat kami perbuat?

‘Saya merasa senang mendapat pendidikan di Bandung, tapi tidak pernah tahu kenapa saya berada di sana. Saya hanya diberitahu bahwa itu karena ada perang di Timor Leste. Namun, dalam hati saya selalu bertanya-tanya tentang identitas diri saya dan kenapa saya harus berada di Bandung, jauh dari keluarga.

‘Setelah tamat SMA Kristen Dago pada tahun 1993 dan masuk kuliah di Institut Manajemen Koperasi Indonesia saya mulai berkenalan dengan mahasiswa/i Timor Leste yang kuliah di Bandung. Saya mulai bergabung dengan Ikatan Mahasiswa Pemuda/Pelajar Timor Leste. Akan tetapi, bersama mereka saya merasa minder dan malu karena tidak mengerti bahasa dan budaya mereka. Saya sering keluar dari pertemuan karena tidak mengerti bahasa Tetun. Lalu, saya mulai memikirkan budaya Timor Leste dan bertekat belajar bahasa Tetun.

‘Saya ini cukup nakal sehingga wali saya merasa putus asa menghadapi saya. Kalau saya renungkan kembali sekarang, saya dulu nakal karena mencari perhatian dan kasih sayang. Hidup tanpa keluarga sangatlah sulit buat saya. Biarpun tanah kelahiran saya ‘terbelakang’, tapi saya selalu rindu untuk pulang ke sana. Saya pikir teman-teman saya juga merasakan hal yang sama. Sampai sekarang airmata saya masih menetes bila melihat gambar seorang ibu memeluk anaknya atau seorang anak berjalan bersama orangtuanya. Sayangnya, saya tidak punya rasa kedekatan dengan keluarga saya di Timor Leste. Teman-teman adalah keluarga saya sekarang, terutama teman-teman saat masih mahasiswa dulu.’

Setelah lulus kuliah di Bandung Rafael Urbano kembali ke Timor Leste dan sekarang bekerja di Bagian Perencanaan Keuangan Departemen Kesehatan di Viqueque.