Syamsul Bahari

Tempat asal: Viqueque

‘Saya lahir pada tahun 1979. Ayah saya bekerja sebagai TBO (Tenaga Bantuan Operasi) selama lima tahun, yakni sampai tahun 1983 ketika ia tewas tertembak oleh tentara Indonesia.

‘Tidak lama setelah kepergian Ayah, saya bertemu dengan Alex Freitas Haryanto (Lukman) yang memberi informasi tentang pendidikan gratis di Yayasan Yakin di Dili. Ibu saya mengizinkan saya pergi dengan Alex ke Dili. Alex juga mengajak beberapa anak dari kampung kami. Saat itu saya duduk di kelas lima SD. Tak lama sebelum itu adik laki-laki saya lahir. Ketika bersekolah di Dili saya memutuskan untuk menjadi muslim.

Dikirim ke Bandung

‘Setahun kemudian, tahun 1988, Yayasan Yakin mengirim saya bersama 32 anak Timor Leste ke Bandung. Majelis Ulama Indonesia (MUI) cabang Bandung lalu membantu mencarikan kami tempat di beberapa panti asuhan dan pondok pesantren. Kami tinggal terpencar di beberapa tempat di sekitar Bandung dan Jawa Barat.

‘Kesempatan berkirim surat pada orangtua terjadi hanya saat Lebaran. Setiap Lebaran kami mendapat sedikit uang saku yang kemudian saya tabung. Ketika tahun 1990 ibu saya meninggal, dengan tabungan yang ada saya memutuskan pulang ke Timor Leste. Ketika kembali ke Bandung saya membawa serta adik saya yang saat itu berumur empat tahun. Ia lalu tinggal di pesantren bersama saya. Sayangnya, kebanyakan anak Timor Leste langsung menghabiskan uang mereka sehingga mereka tidak pernah dapat pulang kampong.’

 

Persatuan pelajar – bekerja sama untuk saling mendukung

‘Pada pertengahan 1990-an kami membentuk Ikatan Pelajar Mahasiswa Islam Timor Timur di Bandung. Melalui perkumpulan itu kami berusaha saling membantu sesuai kemampuan yang ada. Semua mahasiswa muslim Timor Leste yang tinggal di sekita Jawa Barat biasanya berkumpul untuk merayakan Lebaran di Bandung. Dengan cara ini kamu menjaga komunikasi di antara kami.

‘Mahasiswa yang tinggal di kota-kota lain juga datang ke Bandung, terutama saat mereka mempunyai masalah. Sering kali mereka harus melarikan diri dari institusi tempat mereka tinggal. Dari antara mereka banyak yang datang dari Jawa Timur, misalnya. Banyak dari mereka yang tertekan karena telah lama hidup terpisah dari keluarga. Oleh karena itu, sekitar pertengahan 1990-an saya mencoba menghubungi Yayasan Yakin di Dili, meminta mereka untuk datang dan melihat situasi kami serta untmenceritakan kondisi dan situasi kami dan mohon bantuannya. Tapi tidak ada respon.

‘Teman-teman di kelompok kami mencoba melakukan sesuatu untuk membantu. Beberapa anak sudah begitu ingin pulang kampung. Namun, Yayasan Yakin tidak merespons. Lalu, persatuan pelajar mencoba membantu mencarikan tempat bagi mahasiswa yang datang ke Bandung. Kami menghubungi pesantren dan berbagai panti asuhan untuk bertanya apakah mereka dapat menerima para mahasiswa itu. Beberapa yayasan di Sukabumi, Ciamis, Tasikmalaya, Cianjur, Purwokerto, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Bogor, Banten, dan Bandung bersedia menampung mahasiswa Timor Lester. Tiap lembaga itu menerima sekitar 4-5 orang tanpa memungut biaya.’

 Syamsul tidak dapat menamatkan kuliahnya sebelum pulang ke Timor Leste pada tahun 1999 untuk membantu persiapan Referendum. Ia bekerja untuk UNMET, sebuah Organisasi PBB yang bertanggung jawab atas persiapan Referendum di Uatolori, Viqueque. Adik laki-lakinya kembali ke Timor Leste pada tahun 2003. Pada tahun 2004 Syamsul tinggal di Baucau dan membantu pembangunan kembali sebuah masjid yang terbakar pada tahun 2001. Pembangunan ini dapat berjalan juga atas bantuan dari Malaysia. Syamsul aktif terlibat dalam berbagai dialog antar-agama di samping bekerja pada stasiun radio.