Tommy dan Sonia Gandara

Tommy Gandara

Tommy Gandara, 1996

Nama anak: Thomas Alfredo (Sorotu) Gandara and Sonia Gandara

Tempat asal: Bauro, Los Palos

Nama orangtua: Vitor dos Santos Gandara (Ayah); Felicidade Lopes Gandara (Ibu); Egidio dos Santos Gandara (Paman)

Menyerah

‘Pada bulan Oktober 1978 keluarga kami meninggalkan Pegunungan Matebian, tempat kami selama ini bersembunyi, lalu menyerahkan diri di Luro, Distrik Los Palos. Banyak anggota keluarga kami yang menjadi pemimpin senior Fretilin dan keterlibatan ini diketahui oleh pihak militer Indonesia. Kakak laki-laki saya, Vitor dos Santos Gandara, yakni ayah dari Tommy and Sonia, dan seorang paman, Dinis Gandara, akhirnya ditahan. Ibu mereka, Felicidade Lopes Gandara, beserta anak-anaknya dibawa ke Kodim di Los Palos dan ditahan di sana. Setelah tiga bulan akhirnya mereka semua diperbolehkan pulang.

Sehari kemudian Vitor and Dinis dijemput oleh sejumlah tentara dan dibawa ke pos komando militer mereka. Sebulan kemudian mereka dibawa keluar kota, masuk ke hutan. Beserta mereka ada juga Agustus Sanchez. Tak lama setelah itu, tentara datang dan mengambil anak-anak yang lain beserta ibu mereka. Kala ditangkap Felicidade sedang mengandung. Kami tidak tahu persis bagaimana para orangtua dibunuh.’

 Diculik

‘Setelah orangtua mereka menghilang, seorang paman yang lain meminta izin ke Kodim untuk diperbolehkan mengambil anak-anak itu untuk dirawat oleh keluarga. Namun, permohonan ini ditolak.

‘Sebagai gantinya, seorang pegawai sipil Indonesia, EBD, memutuskan untuk membawa anak-anak itu ke Indonesia. EBD bekerja sebagai penasihat di pemerintahan distrik Lautem sejak tahun 1978 sampai 1980. Ia juga bekerja sebagai penginjil untuk Gereja Protestan Imanuel yang memiliki cabang di Los Palos. EBD berhasil mendapatkan izin untuk membawa Tommy dan Sonia. Di dalam surat, yang ditandatangani oleh pemerintah distrik serta komandan polisi dan militer, disebutkan bahwa anak-anak itu diserahkan kepada EBD oleh dua anggota Gereja Protestan Imanuel di Los Palos. Disebutkan pula di sana bahwa EBD harus membesarkan anak-anak itu seperti anak-anaknya sendiri karena orangtua mereka telah meninggal dan tidak ada anggota keluarga lain yang dapat mengambil alih tanggung jawab ini. Terakhir, disebutkan juga bahwa proses ini tidak dilakukan di bawah tekanan—dari pihak yang mengambil anak terhadap keluarga si anak. EBD membawa anak-anak ke Jakarta pada tanggal 18 Juni 1979.’

Surat penyerahan anak

Pelacakan Sonia

‘Ketika belajar di Dili saya mempunyai seorang teman di Jakarta, yang memiliki alamat EBD. Karena itu, pada bulan November 1991 saya menulis surat kepada EBD. Ia lalu membalas dan memberikan alamat keponakan-keponakan saya. Sonia tinggal di Panti Asuhan van de Steur yang dibangun oleh Belanda dan dijalankan oleh Gereja Protestan, tak jauh dari rumah EBD di Pondok Gede, Jakarta Timur. Sementara itu, Tommy telah diadopsi oleh Nyonya Lusi. Saya pun menulis surat kepada mereka berdua, tapi hanya Sonia yang membalas.

‘Pada tahun 1994 Sonia menulis surat, berkata bahwa ia ingin kembali ke Timor Leste setelah lulus SMA. Jadi, saya berangkat ke Jakarta untuk menemuinya. Rupanya, Kepala Panti Asuhan di Jakarta tidak percaya bahwa Sonia mempunyai keluarga. Dulu EBD memberikan surat penyerahan kepada mereka tanpa menerangkan bahwa kedua anak tersebut bersaudara. Setiba Sonia di sana pada tahun 1979, ia sempat kabur beberapa kali guna mencari saudaranya itu. Sayangnya, tidak ada staf panti yang percaya pada ceritanya. Oleh karena itu, para staf menghubungi Departemen Kesejahteraan Sosial (Depsos) untuk bertanya pada EBD apakah Sonia benar memiliki seorang paman.

‘Pada waktu itulah saya tahu cerita bagaimana Sonia sampai tinggal di panti asuhan tersebut. EBD menjelaskan bahwa ia dulu diminta oleh seseorang dari Sulawesi, yang tinggal di Dili, untuk mencari anak yang dapat ia adopsi. Akan tetapi, ketika EBD kembali ke Dili dengan Sonia dan Tommy, orang itu tidak menginginkan mereka. Jadi, EBD membawa kedua anak itu ke Jakarta. Rupanya, keluarga EBD pun tidak menginginkan kedua anak itu karena mereka sudah punya anak-anak sendiri. Beberapa bulan kemudia Sonia diserahkan ke Panti Asuhan van de Steur. Ia menjalani hidup yang baik selama di sana, tetapi ia tidak punya kontak dengan Timor Leste. Ia diberitahu, melalui bisik-bisik, bahwa ia datang dari keluarga Fretilin yang anti-Indonesia.’

Pelacakan Tommy

‘Pada tahun 1994, setelah saya tiba di Jakarta, EBD memberitahu bahwa Tommy diambil oleh Nyonya LS. Namun, kehidupannya tidak mudah karena ia pernah menjadi anggota Gerwani, yakni organisasi wanita dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilarang oleh Presiden Soeharto pada tahun 1966. Nyonya LS merawat Tommy dengan amat baik dan mengirim Tommy ke sekolah Katolik. Ketika ia meninggal pada tahun 1983, Tommy sempat diserahkan kepada beberapa anggota keluarganya. Pada tahun 1991 saya mencoba menulis surat pada Tommy, tapi surat itu tidak disampaikan oleh walinya kepada Tommy.

‘Awalnya Tommy tidak ingin kembali ke Timor Leste bersama Sonia dan saya, tapi ia lalu memutuskan untuk ikut serta. Ia merasa marah dan frustrasi karena ia tidak tahu tentang kakaknya yang tinggal di dekatnya selama 15 tahun. Identitas dan agama Tommy pun telah berubah setelah Nyonya LS meninggal.

‘Kami harus menunggu beberapa minggu hingga ijazah SMA Sonia keluar, dan selama penantian ini saya menceritakan pada Sonia dan Tommy semua hal tentang keluarga mereka di Timor Leste.’

Kembali ke Indonesia

‘Pada awal tahun pelajaran baru, Sonia bersekolah di universitas di Dili dan Tommy masuk SMA di Los Palos. Kami masih punya anggota keluarga yang berjuang bersama Fretilin, karena itu kami diawasi ketat oleh pihak militer Indonesia. Adik laki-laki saya, Aurelio, sempat beberapa kali diinterogasi dan dipenjara, sebagian besar terkait dengan kembalinya Tommy dan Sonia.

‘Tommy merasa marah atas perlakuan pihak militer Indonesia terhadap keluarganya. Teror yang ditanamkan dalam keluarganya dan semua penduduk amat mengejutkan Tommy. Itu karena, selama berada di Indonesia ia tidak pernah mendengar apapun tentang konflik dan ketegangan politik di Timor Leste.

‘Ia sulit menerima situasi tersebut. Jadi, ia bergabung dalam gerakan bawah tanah dan tidak lagi datang menjumpai kami pada siang hari agar kami tidak kena masalah. Ia lalu memutuskan untuk mencari suaka ke kedutaan asing di Jakarta dan tidak memberitahu kami tentang rencananya itu. Pada tahun 1995 ia diterima di Kedutaan Belanda di Jakarta.

‘Ia lalu pergi ke Portugal dan belajar di Lisbon. Beberapa tahun setelahnya kami mendapat kabar bahwa ia sakit keras. Berkat bantuan dana dari Xanana Gusmão dan Jose Ramos Horta kami akhirnya dapat membawa Tommy pulang di atas kursi rodanya. Seminggu setelah tiba di Timor Leste, ia meninggal, yakni pada tanggal 19 Desember 2001. Kala itu ia baru berusia 25 tahun.

‘Sonia juga mengalami kesulitan tinggal di Timor Leste sehingga ia kembali ke Indonesia. Sekarang ia telah menikah dan berkeluarga di sana. Secara teratur ia tetap memelihara hubungan dengan anggota keluarganya di Timor Leste.’

Sonia Gandara dengan anaknya, 2010

Tommy Gandara

Tommy Gandara, Alentejo, Portugal, 1996 (Foto: Dino Gandara)

Tommy's grave, Los Palos

Makam Tommy - Egidio Gandara (kiri)

Interview

Interviewed for Tapol Magazine, 1997 CLICK TO READ