Tempat asal: Baguia, Baucau
Nama narasumber: Orangtua angkat di Indonesia
‘Dari tahun 1977 hingga 1980 saya bekerja untuk keluarga seorang prajurit yang memiliki bisnis kontrak bangunan di Timor Leste. Di Baguia saya tinggal di gedung yang dibangun pada zaman Portugis. Kadang-kadang, pada malam hari, gedung kami ditembaki oleh Fretilin, tapi kami aman karena terlindung oleh dinding yang tebal.
‘Seorang pastor dari Spanyol, yang tinggal di Baguia, merawat banyak anak yatim-piatu dan anak hilang. Anak-anak tersebut tinggal di gedung Portugis lain yang dekat dengan rumah kami. Di sana tinggal kurang lebih seratus anak di bawah perawatan sang pastor.’
Vitor
‘Vitor adalah salah satu dari anak-anak itu. Ia berumur sekitar lima tahun, ketika saya pertama kali melihatnya. Ia sangat kurus dan kekurangan gizi serta sering mengemis makanan. Saya merasa sangat sedih demi melihat betapa kurusnya ia, dengan perut buncit dan rambut merah akibat kurang gizi. Saya membiarkan ia bekerja untuk saya sebagai ganti makanan.
‘Saya diberitahu bahwa ayah Vitor bernama Alberto da Costa. Alberto adalah seorang pendukung integrasi yang sering memimpin patroli melawan Fretilin. Hal itu sangat berbahaya karena akhirnya ia dibunuh oleh Fretilin pada tahun 1979, saat orang Timor Leste menebar bunga di atas makam. Saya dengar, ibunya adalah Maria dan ia tinggal lebih kurang dua kilometer dari Baguia bersama adik Vitor. Saya tidak pernah mengunjungi ibu Vitor. Itu terlalu berbahaya. Saya hanya mendengar informasi tersebut dan saya tidak tahu lebih jauh. Tak lama kemudian saya mendengar bahwa Maria meninggal.
‘Vitor tidak ingin pulang atau kembali ke tempat sang pastor. Jadi, ketika tiba waktu saya untuk pergi, saya memutuskan untuk membawa serta Vitor untuk saya rawat dan sekolahkan.’
Surat penyerahan
‘Saya bertanya pada pastor Spanyol itu apakah saya boleh membawa Vitor ke Indonesia. Saya pikir, ia merasa senang karena ada begitu banyak anak yang membutuhkan perawatan. Ia pun menandatangani surat penyerahan anak sehingga saya dapat membawa Vitor. Surat itu saya butuhkan untuk membuktikan bahwa ia anak yatim-piatu dan berada di bawah perawatan saya. Jadi, nantinya saya dapat mengajukan permintaan bantuan biaya ke Departemen Kesejahteraan Sosial Indonesia untuk menutupi biaya sekolahnya.
‘Kami berangkat ke Jakarta pada bulan Juni 1980. Seorang teman saya membawa anak lain yang bernama Juliano. Juliano tampak lebih kekurangan gizi dibandingkan Vitor; ia tidak punya rambut. Rupanya ia terlalu lemah sehingga meninggal dalam perjalanan.’
Di Indonesia
‘Vitor mampu menyesuaikan diri dengan keadaan di Indonesia. Tetapi, ia tidak suka ke sekolah. Saya pikir, itu karena pengalamannya—akibat trauma dan kenyataan bahwa ia pernah kekurangan gizi.
‘Namun, semua orang di kampung kami mengenalnya dan menyukainya. Ia selalu menolong orang jika mereka membutuhkannya.
‘Setelah ia agak dewasa, kami mulai mengkhawatirkan kegiatan politiknya. Pada tahun 1996, rumah kami dikelilingi oleh petugas keamanan dan Vitor ditahan serta dipenjarakan karena aktivitas pro-demokrasinya.’
Saat ini Vitor menjadi anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) yang berbasis di Jakarta.
Tahun 2004 ia kembali ke Timor Leste dan mencoba menemukan keluarganya, kendati tidak berhasil. Itu adalah kali pertama ia pulang. Ia lalu memberitahu koleganya di Yayasan Hak, yang nantinya berusaha membantu Vitor. Mereka pergi bersama-sama ke Viqueque. Seseorang di sana mengaku sebagai paman Vitor dan yang berkata bahwa ia mirip sekali dengan ayahnya. Orang itu juga berkata bahwa ia mengenal orangtua Vitor dan bahwa waktu Vitor masih kecil, ia tinggal bersama kakek-neneknya. Ayah Vitor meninggal dalam perang, ibunya menyusul setelah itu. Lalu, ada seorang lain yang memberitahu Vitor bahwa ia punya seorang kakak laki-laki yang diadopsi oleh seorang kolonel Angkatan Laut pada tahun 1983 dan saat itu tinggal di Surabaya. Namun, Vitor tidak begitu yakin akan semua informasi ini dan ia tidak punya cara untuk membuktikannya.
Lihat dokumentasi BBC ‘The lost children of East Timor,’ oleh Lucy Williamson—di dalamnya Vitor sempat terekam sekilas.
Film di atas merujuk pada masalah yang terkait adat-istiadat dan hukum mengenai makam anak-anak hilang. Orang Timor Leste sering membuat makam bagi mereka yang hilang dan menjalankan upacara ritual kematian. Dengan cara ini, pihak keluarga percaya bahwa roh anak mereka akan beristirahat bersama nenek-moyang mereka yang dimakamkan di tanah leluhur. Jika seorang anak yang diduga mati ternyata kembali, upacara berikutnya dibuat untuk menempatkan mereka kembali di dunia orang hidup.
Lihat juga:
Kisah Anak Timor yang Hilang (2): Pulsanglah ke Rumah, Nak! by Citra Dyah Prastuti (Radio KBR68H 77-SAGA, 19 January 2012)