Tempat asal: Tibar, di sebelah barat Dili
Zacarias diwawancarai oleh wartawan SBS Australian, David O’shea. Lihat video di Youtube: ‘East Timor`s stolen children‘, Dateline, SBS 2002 (bahasa Inggris)
‘Saya lahir pada bulan November 1986. Ibu saya meninggal pada tahun 1996, ketika saya masih duduk di Kelas 3, Sekolah Dasar di Tibar, dekat Dili. Salah satu guru sekolah saya, Pak Budianto, berasal dari Indonesia. Karena kami sangat miskin, ia mengundang kami untuk tinggal bersama keluarganya, bekerja untuk mereka dan membantu menjaga anak perempuannya. Sebagai gantinya ia membayari uang sekolah saya.
‘Menjelang Referendum pada tahun 1999, Ibu Budianto tampak khawatir. Jadi, Pak Budianto membawanya pulang ke Magelang, Jawa. Tak lama kemudian ia berkata bahwa, jika saya mau ke tempat yang lebih aman, saya harus ikut dengannya ke Jawa. Menurutnya, saya bisa tinggal lagi dengan keluarganya dan mereka akan membantu saya membayar uang sekolah. Ia juga bilang, saya bisa pulang ke Timor Leste setelah keadaan aman.’
Tertipu
‘Sekitar tiga minggu sebelum Referendum, ia membawa saya ke Dili untuk naik kapal ke Jawa. Di pelabuhan kami bertemu dengan seorang ibu dengan tiga anak, dua di antaranya kakak-adik dari Ermera. Bapak Budianto memberi saya uang Rp200.000,00, katanya untuk membeli buku dan sepatu. Kemudian ia pergi, berjanji bahwa ia akan kembali sebelum kapal berangkat untuk memberikan alamat dan nomor telepon istrinya di Magelang. Ia bilang, saya harus menghubungi istrinya dan istrinya akan menemui saya. Entah bagaimana, ia tidak pernah kembali dan sejak saat itu saya tidak pernah mendengar kabar tentangnya lagi. Saya pergi ke Jawa bersama sang ibu dan ketiga anak yang lain. Saya bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Saat itu saya baru berumur 12 tahun.
‘Setibanya kapal tiba di Jakarta, seorang pria bernama Hasan Basri menemui kami. Saya baru tahu bahwa semua orang yang ikut dalam perjalanan itu adalah kerabatnya. Pikir saya, mungkin Pak Budianto yang mengatur agar saya ikut Hasan Basri. Tapi ia tidak pernah bilang pada saya. Hasan Basri kemudian membawa kami ke Bandung dan kami tinggal di rumahnya selama seminggu—di sana ada 20 anak yang semuanya tinggal di rumah Hasan Basri. Sebagian besar dari mereka adalah kerabat Hasan Basri; beberapa dari mereka masih relatif kecil dan orangtua mereka berada di Timor Leste.
‘Seorang Jawa yang beriman, seorang haji, mengunjungi kami dan Hasan Basri memintanya untuk membantu mencarikan kami tempat di pesantren. Beberapa anak nantinya dikirim ke Bogor dan Tasikmalaya. Pak Haji lalu membawa saya dan Nur Hikmah, salah satu dari dua anak Ermera, ke Majalengka, dekat Cirebon, Jawa Barat. Saudaranya, Manuel (Abdul Rahman) dikirim ke Tasikmalaya. Manuel menangis karena ia tidak bisa ikut dengan saudarinya. Lalu, Pak Haji berusaha menjelaskan bahwa akan lebih baik jika kami tidak selalu bersama sehingga kami tidak saling mempengaruhi. Waktu itu, sempat terpikir oleh saya bahwa mungkin Hasan Basri takut kami akan kabur bersama-sama. Awalnya saya kira, saya akan dibawa ke rumah Pak Budianto karena saya kira Majalengka itu Magelang. Saya sangat kecewa.’
Menjadi Muslim
‘Pada tahun 1999–2002 saya belajar di sebuah SMP di Majalengka. Saya tinggal dengan seorang guru yang mengajar agama Islam. Saya bekerja untuknya di rumah dan saya bisa ke sekolah.
‘Pesantren itu dijalankan oleh Persatuan Islam (PERSIS). Kami belajar banyak hal mengenai agama Islam dan saya menjadi seorang muslim. Sebelum berangkat ke Jawa saya memang belum dibaptis.
‘Ketika berada di Majalengka, saya tidak menerima kabar apapun tentang keluarga saya. Pada tahun 2002 saya tahu dari televisi bahwa Timor Leste sudah merdeka. Saya sempat merasa sedih karena tidak bisa pulang ke rumah dan saya tidak tahu bagaimana keadaan ayah dan keluarga saya. Keluarga angkat saya berusaha mengibur agar saya tidak sedih. Ayah angkat saya bilang bahwa, jika saya sudah lulus, saya bisa pulang ke Timor Leste. Namun mereka tidak pernah memberitahu saya apa-apa mengenai keluarga saya di sana.’
Konfrontasi dengan Hasan Basri
‘Saya tidak pernah membicarakan tentang Pak Budianto dengan Hasan Basri. Oleh karena itu, setelah satu tahun tinggal di Jawa, saat liburan panjang tiba, saya pergi ke rumah Basri, tapi ia sudah pindah rumah. Pada waktu liburan di tahun berikutnya, saya mencoba mencarinya lagi. Saya mendengar bahwa ia tinggal di Sumedang, dekat Bandung, tempat ia sedang membangun pesantren miliknya. Namun, ketika saya bertanya perihal Pak Budianto, ia bilang bahwa ia tidak kenal. Pada tahun ketiga saya di Majalengka, yakni tahun 2002, sekali lagi saya kembali ke Sumedang. Kurang lebih ada sepuluh anak Timor Leste yang tinggal di bermacam-macam pesantren di sekitar Bandung, yang sebelumnya terkumpul di rumah Hasan Basri. Tanpa sengaja saya bertemu dengan seorang wartawan asing di tempat Basri, yang memberitahu saya bahwa ia dapat membawakan surat saya untuk ayah saya di Timor Leste. Demikianlah akhirnya ayah saya mengetahui keberadaan saya di Jawa. Pada liburan panjang itu saya bertemu dengan perwakilan dari lembaga PBB yang mengurusi masalah pengungsi (UNHCR), yang memberitahu bahwa ayah saya sedang mencari saya. Ia meminta bantuan UNHCR untuk menemukan saya. Mereka memberitahukan bahwa Ayah akan menjemput saya dan membawa saya pulang. Tetapi, saya tidak percaya bahwa ayah saya akan datang.
‘Untuk berjaga-jaga, saya memutuskan untuk pindah dari Majalengka ke pesantren di Sumedang. Setelah tiga bulan, yaitu pada Oktober 2002, ayah saya datang bersama UNHCR untuk menjemput saya.’
Kembali ke rumah
‘Hasan Basri mengumpulkan semua anak Timor Leste yang tinggal dengannya untuk bertemu dengan perwakilan UNHCR. Bersama perwakilan UNHCR, datang juga seorang pegawai polisi dan pegawai Departemen Sosial.
‘Sebelum pertemuan itu ia sempat berkata pada saya, “Biarpun ayah kamu datang untuk bertemu denganmu, kamu harus tetap tinggal di sini dan tidak kembali ke Timor Leste. Lebih baik kamu menyelesaikan sekolahmu dulu.” Namun, ia tidak melarang saya pulang bersama ayah saya.
‘Pada pertemuan itu Hasan Basri bertanya kepada kami, “Siapa yang mau pulang ke Timor Leste?” Saat itu, ada seorang ibu yang datang bersama ayah saya untuk menjemput ketiga anaknya. Ternyata, yang mengangkat tangan hanya saya dan salah satu dari ketiga anak ibu itu. Si Ibu, Domingas, adalah kakak dari istri Hasan Basri. Anak-anak lain tidak ada yang berani mengangkat tangan. Tetapi, saya pikir, jika orangtua mereka datang untuk menjemput, mereka pasti ingin pulang juga ke rumah. Setelah kendaraan UNHCR pergi, salah satu dari anak yang lain berlari sepanjang jalan, mengambil jalan pintas keluar dari wilayah perumahan. Ia bersembunyi di tepi jalan dan, ketika mobil UNHCR lewat, ia mencegatnya dan meminta untuk dibawa pulang. Saat itu, ia tidak bersekolah, hanya membantu bekerja di kebun. Jadi, hari itu ada tiga anak yang pulang kampung.
‘Ketika saya kembali ke Dili, UNHCR membantu saya untuk kembali bersekolah di SMP 30 Agustus di Comoro. Namun, saya tidak betah karena saya ingin bersekolah di sekolah Islam. Jadi, saya pindah ke SMP An-Nur yang dikelola oleh Masjid An-Nur.’