Tentara dan pegawai negeri sipil Indonesia secara perorangan mengambil anak-anak Timor Leste untuk mereka adopsi sendiri atau diberikan kepada keluarga lain. Sebagian besar anak ini diambil dari Timor Leste antara tahun 1975 sampai awal 1980-an ketika terjadi perang antara tentara Fretilin dan tentara Indonesia.
Saat itu ada banyak anak yang terpisah dari keluarga mereka dan terlantar akibat perang. Kadang-kadang prajurit dan pegawai negeri sipil Indonesia menemukan anak-anak tersebut seorang diri tanpa ada orang yang merawat. Jadi, mereka membawa anak-anak itu pulang ke Indonesia pada akhir masa jabatan mereka di Timor Leste.
Setelah sekelompok orang Timor Leste menyerah atau ditangkap, pihak militer Indonesia memaksa mereka untuk hidup bersama di kamp-kamp (yang disebut oleh penghuninya sebagai ‘kamp konsentrasi’). Memang di antara penghuni kamp sering dijumpai anak-anak yang terpisah dari keluarganya. Namun, sejumlah tentara juga memaksa para orangtua yang tinggal di sana untuk menyerahkan anak-anak mereka sehingga mereka biasanya merasa tidak punya pilihan lain. Para orangtua itu juga diminta menandatangani perjanjian adopsi dengan pihak tentara, yang acap kali bertentangan dengan keinginan mereka. Apalagi sering kali mereka tidak paham isi perjanjian yang mereka tandatangani.
Banyak prajurit dan pegawai negeri sipil mengambil, lalu mengasuh anak-anak tersebut karena mereka merasa kasihan pada anak-anak yang terpisah dan terlantar itu. Namun, ada juga alasan politis di balik bantuan yang ditawarkan. Dengan membawa seorang anak kembali ke Indonesia, tentara-tentara tersebut ingin menunjukkan keberhasilan misi nasionalis mereka di Timor Leste: rakyat Timor Leste menghendaki integrasi dengan Indonesia dan ingin agar anak-anak mereka dididik di Indonesia. Selain itu, para tentara tersebut juga memiliki alasan pribadi mengapa mereka menginginkan seorang anak dari Timor Leste: beberapa di antara mereka tidak punya anak sendiri atau mereka menginginkan anak dari jenis kelamin tertentu.
Beberapa orangtua setuju untuk memberikan anak mereka kepada orang Indonesia yang berjanji akan mengembalikan anak-anak itu setelah mereka menamatkan pendidikan di Indonesia. Selama konflik banyak orangtua yang merasa tidak mampu memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Memang, ada juga yang berpikir bahwa menyerahkan anak mereka ke tangan orang Indonesia adalah cara untuk memastikan bahwa setidaknya salah satu anggota keluarga mereka selamat. Namun, mereka merasa kecewa karena tentara atau orang yang membawa anak-anak mereka itu tidak menepati janji untuk mengembalikan anak-anak tersebut kepada mereka.
Satu kelompok anak yang rentan untuk diambil secara paksa oleh tentara adalah anak-anak muda yang bekerja sebagai pembantu tentara atau yang dikenal sebagai Tenaga Bantuan Operasi (TBO). Para tentara sering kali mengembangkan ikatan emosi dengan TBO mereka sehingga menawarkan untuk membawa mereka pulang dan mendidik mereka. Para tentara juga ingin terus mempengaruhi dan memastikan mereka tidak bergabung dengan kelompok perlawanan. Hanya saja, banyak TBO dibawa ke Indonesia di luar keinginan mereka dan orangtua mereka. Lebih dari itu, kerap kali mereka harus terus bekerja keras, sebagian di antara mereka diperlakukan seperti budak untuk keluarga tentara yang bersangkutan.
Akan tetapi, mengapa para tentara itu membawa anak-anak tanpa izin dan kadang kala memaksa orangtua untuk menyerahkan anak-anak mereka? Para tentara rupanya mempunyai pandangan paternalistik terhadap orang Timor Leste, dengan memandang mereka sebagai masyarakat yang primitif dan terbelakang. Mereka percaya bahwa mereka menawari anak-anak tersebut pendidikan yang lebih unggul di Indonesia. Hal ini membuat mereka membenarkan tindakan mereka mengambil anak-anak Timor Leste dari keluarga mereka, bahkan secara paksa. Para prajurit bahkan membawa anak-anak tersebut bagaikan sedang mengambil barang dari musuh yang dikalahkan, seperti piala perang.
Setelah beberapa waktu, pihak militer dan pemerintah mengeluarkan peraturan dan instruksi yang melarang pemindahan anak-anak kecil dari Timor Leste, kecuali mereka itu yatim-piatu atau orangtua mereka telah memberikan persetujuan tertulis. Kendati demikian, para prajurit mengambil paksa anak-anak dari orangtua dan keluarga mereka di Timor Leste. Sering kali para prajurit memaksa orangtua menandatangani dokumen tertulis yang mengizinkan pengambilan anak-anak mereka. Jika mereka tidak bisa memperoleh dokumen tersebut, para prajurit lalu memasukkan anak-anak ke dalam peti kemas dan memuat mereka bersama barang lain ke kapal menuju Indonesia.