Yayasan Kesejahteraan Islam Nasrullah (Yakin), sampai saat ini adalah yayasan yang paling banyak mengirimkan anak-anak ke Indonesia. Yayasan Yakin didirikan pada tahun 1982 di Kuluhun, daerah pinggiran di sebelah timur Dili. Pendirinya adalah anggota Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan sejumlah warga Timor Timur asal Arab, khususnya anggota keluarga Sagran. Di Kuluhun, Yayasan Yakin mendirikan sekolah-sekolah untuk berbagai tingkatan dan panti asuhan. Pada tahun 1997 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendirikan pusat kegiatannya di Timor Leste.
Ketika sebagian anak belajar di kompeks sekolah, kebanyakan tinggal di sana selama beberapa waktu sebelum mendapatkan tempat di panti asuhan dan pesantren di Indonesia. Ketika ada permintaan datang dari sebuah institusi di Indonesia dan jika belum ada anak-anak (dari antara mereka yang tinggal di kompleks sekolah milik Yakin) yang memenuhi kriteria, seorang staf dari Yayasan Yakin akan pergi mencari dari beberapa distrik sekitar. Sejumlah lembaga yang menampung anak-anak itu berlokasi di berbagai penjuru Indonesia dan banyak di antaranya yang datang dari berbagai macam aliran teologis. Satu-satunya kriteria yang Yayasan Yakin minta adalah agar lembaga-lembaga tersebut menyediakan pendidikan dan pembinaan anak secara gratis. Terkadang ada kasus di mana anak-anak tersebut, ketika sampai di Indonesia, mendapati tempat yang dijanjikan telah terisi. Ketika hal ini terjadi, staf dari Yayasan Yakin akan berusaha melobi sejumlah institusi di sekitar untuk menerima sejumlah kecil anak.
Acap kali para prajurit membujuk para orangtua untuk mengirimkan anak-anak mereka ke Indonesia melalui Yayasan Yakin dan, dalam beberapa kasus, mereka mengorganisasi pengiriman anak-anak ke Dili. Banyak dari antara anak-anak ini yang dikirim oleh generasi pertama orang Timor Leste yang memeluk agama Islam. Anak-anak muda ini lalu dibawa oleh tentara ke sejumlah lembaga di Indonesia, ditampung oleh pejabat negara atau oleh aktivis DDII pada awal tahun 1980an. Nantinya anak-anak itu kembali ke daerah mereka sebagai ulama dan mengajak para anggota keluarga dan anggota kampung mereka untuk memeluk agama Islam. Mereka pun membantu para penyiar agama Islam dari DDII yang tiba di kota-kota pusat distrik untuk mendirikan masjid dan sekolah begitu orang Indonesia tiba. Para penyiar agama Islam dari DDII dan Timor Leste juga membujuk sejumlah keluarga untuk menyerahkan anak mereka kepada DDII untuk dikirim ke Indonesia.
Pada tahun 1977 Yayasan Masjid An-Nur Dili dengan dukungan dari Kementerian Agama Indonesia mengirimkan 29 pelajar Timor Leste keturunan Arab untuk menuntut pendidikan di sejumlah lembaga Islam di Jawa—beberapa di antara mereka masih sangat muda sehingga perlu ditemani oleh saudara mereka yang lebih tua. Yayasan itu juga mengirim anak-anak dari penduduk asli Timor Leste ke berbagai lembaga milik Indonesia. Anak-anak yang dikirim oleh An-Nur biasanya sudah lebih tua dan telah tamat sekolah menengah pertama (SMP). Tidak seperti anak-anak yang dikirim oleh Yayasan Yakin, mereka biasanya diseleksi berdasarkan kemampuan sehingga biasanya lebih berhasil. Kadang kala lembaga-lembaga Indonesia itu memberi anak-anak itu kesempatan gratis untuk pulang kampung selama libur lebaran agar mereka dapat merayakannya bersama keluarga di Timor Leste. Melalui jaringannya Yayasan An-Nur juga membantu para pelajar untuk melanjutkan pendidikan mereka seusai SMA.
Yayasan Hidayatullah Al-Ishlah, yang berkantor di Fatuhada, Dili, juga mengirimkan sejumlah anak ke Indonesia. Pada tahun 1995 sejumlah orangtua dari Desa Daisua, Distrik Suai, memprotes soal pengiriman anak-anak mereka, yang diorganisasi oleh Hanafi Martins. Ia adalah seorang penyiar agama Islam dari Suai dan merupakan anggota yayasan tersebut. Anak-anak tersebut dikirim ke salah satu jaringan sekolah Hidayatullah di pinggiran kota Kupang, Timor Barat. Setelah campur tangan dari pihak kepolisian, 22 anak lalu dikembalikan ke keluarga mereka.
Seperti semua lembaga lain yang mengirimkan anak-anak Timor Leste ke Indonesia, lembaga-lembaga Islam mengatakan bahwa mereka ingin menolong orang Timor Leste, yang dalam pandangan mereka adalah kaum miskin dan terbelakang. Lembaga-lembaga itu menekankan keuntungan dari pendidikan gratis yang mereka tawarkan dan kontribusi mereka pada perkembangan Timor Leste.
Adapun lembaga-lembaga itu menyerahkan anak-anak Timor Leste ke sejumlah lembaga milik Indonesia dan biasanya tidak cukup berupaya membantu anak-anak itu untuk tetap berhubungan dengan keluarga mereka, khususnya dalam kasus Yayasan Yakin. Yayasan tersebut mengirim banyak anak yang selama bertahun-tahun kehilangan kontak dengan keluarga mereka. Yayasan itu juga tidak secara sistematis melacak keberadaan anak-anak yang secara reguler pindah ke yayasan lain dan, yang dalam beberapa kasus, melarikan diri. Lalu, dalam beberapa kasus lain, identitas anak-anak itu, yakni nama dan agama mereka, diubah tanpa sepengetahuan orangtua dan keluarga mereka.
Pada tahun 1999 masih ada banyak anak yang tinggal di berbagai yayasan Islam di Indonesia. Lembaga PBB yang mengurusi masalah pengungsi (UNHCR) memang telah membantu pemulangan sebagian anak. Namun, anak-anak tersebut dikirim beberapa tahun sebelum referendum diadakan pada tahun 1999 sehingga mereka tidak dapat pulang dan tidak tahu keadaan yang sebenarnya di Timor Leste.