Pada tanggal 3 September 1977, dua puluh anak Timor Timur yang berusia 4–10 tahun dibawa untuk berjumpa dengan Presiden Soeharto di rumahnya di Jalan Cendana, Jakarta. Presiden dan istrinya menyisihkan waktu dari kesibukan mereka untuk secara pribadi menyambut mereka.
Hadir di sini adalah Menteri Negara Sudharmono, Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam, dan Gubernur Timor Timur Arnando dos Reis Araujo beserta istrinya. Gubernur Timor Timur secara formal menyerahkan anak-anak kepada Gubernur Jawa Tengah, tempat anak-anak itu akan tinggal
Foto-foto menunjukkan bagaimana anak-anak itu didudukkan di kediaman pribadi Soeharto, dengan Ibu Tien, istri Presiden, membantu mereka mencuci tangan, lalu memberi mereka makanan. Ia merasakan kesedihan seorang ibu bagi anak-anak kecil itu, yang tidak punya siapa-siapa lagi untuk merawat mereka dan harus pergi jauh dari kampung halaman mereka untuk dirawat. Sementara itu, Presiden memberi anak-anak itu nasihat seperti seorang ayah kepada anak-anaknya.
Pertemuan dengan anak-anak ini berlangsung tak lama setelah Soeharto menawarkan amnesti kepada kelompok perlawanan Fretilin dari Timor Timur, ketika Presiden menyampaikan pidatonya pada hari Kemerdekaan, 17 Agustus 1977. Presiden Soeharto secara simbolis mengundang seluruh rakyat Timor Timur untuk menjadi bagian dari keluarga Indonesia dengan mengundang anak-anak kecil itu ke rumahnya. Anak-anak tersebut, atas nama rakyat Timor Timur, menjadi anggota keluarganya dan perluasan dari keluarga besar Indonesia. Petrus Kanisius, salah satu dari anak-anak tadi, masih ingat bahwa setelah pertemuan itu mereka sering dipanggil sebagai “anak-anak Presiden”.
Lalu, Presiden Soeharto ingin mendengar sendiri dari keduapuluh anak Timor Timur itu bahwa mereka senang berkunjung ke Jakarta dan bahwa mereka senang akan tinggal di Jawa Tengah. Mereka sudah dilatih untuk menyanyikan lagu dalam bahasa Indonesia untuk Pak Presiden, “Di sini senang, di sana senang, di mana-mana hatiku senang”. Petrus Kanisius dan teman-temannya begitu bersemangat karena berbagai kunjungan ke atraksi-atraksi luar biasa di Jakarta, seperti Taman Mini—tempat miniatur Indonesia—dan karena makanan lezat yang disajikan di hadapan mereka di istana presiden. Ini pun wajar karena ketika ia meninggalkan kamp konsentrasi di Aileu, ia dan keluarganya mengira bahwa ia akan dikirim untuk bersekolah di ‘kota besar’ Dili. Ternyata ia dan anak-anak yang lain malah dibawa ke Jakarta, tempat ia merasa kewalahan oleh kota besar itu, dengan bahasa dan adat kebiasaannya, apalagi waktu itu ia tak sempat untuk mengucapkan selamat tinggal.
Koran-koran melaporkan bahwa keduapuluh anak Timor Timur ini menjadi yatim piatu karena orangtua mereka dibunuh oleh komunis Fretilin. Sepuluh tahun setelah pembunuhan massal anti-komunis di Indonesia pada tahun 1965, rasa antipati terhadap komunisme masih sangat segar di ingatan sebagian besar orang. Oleh karena itu, anak-anak tersebut lalu menjadi simbol sedih dari keinginan rakyat Timor Timur untuk bergabung dengan Indonesia, dan mereka mengundang respons simpati dari rakyat Indonesia yang merasa perlu mendukung aksi militer Indonesia di Timor Timur untuk melindungi “saudara-saudara” mereka di sana, yang menderita di bawah teror komunis.
Para pejabat Orde Baru memanipulasi banyak aspek kebenaran tentang perang di Timor Timur. Selain itu, realita anak-anak kecil itu dibuat untuk mewujudkan segala dongengan Orde Baru. Anak-anak itu dikumpulkan dari sejumlah kamp konsentrasi di Timor Timur—mereka yang terpaksa tinggal di sana akibat agresi militer Indonesia—termasuk seorang anak yang menyaksikan bagaimana orangtuanya dibunuh oleh tentara Indonesia. Sekelompok anak lain yang dikirim ke Indonesia oleh Yayasan Dharmais milik Soeharto mungkin akan lebih mendekati gambaran tentang Indonesia ini. Dengan menggambarkan sekelompok anak secara demikian, pemerintahan Soeharto menjadikan anak-anak itu bagian dari upaya propagandanya untuk membenarkan dan meraih dukungan bagi aksinya di Timor Timur.