Suara Pembaruan, 14 Oktober 2002

Reunifikasi Anak Timor Timur (1):

Terganjal Kecurigaan Yayasan pada UNHCR

Oleh Elly Burhaini Faizal

MESKIPUN masih bocah, Saddam Husein Freitas da Silva yang dilahirkan di Desa Wailaha, Timor Timur, sepuluh tahun lalu, tidak bisa merasakan kehangatan kasih sayang orangtuanya. Berdesak-desakan bersama ratusan ribu pengungsi lainnya menjelang penghujung 1999, Saddam meninggalkan bumi Lorosa’e yang dilanda konflik berdarah pascajajak pendapat. Peristiwa itu sekaligus menandai lepasnya Timor Timur yang masuk wilayah RI sejak 17 Juli 1976.

“Ia sudah tiga tahun bersama saya,” ungkap Hasan Basri, alias Roberto Freitas, pengasuh Yayasan Lemorai, di Sumedang, Jawa Barat. Di situlah kini kini Saddam bertempat tinggal, sekolah, dan belajar mengaji. Sebanyak 22 anak ditampung di asrama yatim piatu Baitul Muh’taddin, Sumedang. Yang paling kecil berusia empat tahun dan orangtuanya sekarang bermukim di Atambua. Tiga orang dari mereka sudah dibawa ke Mataram.

Saddam Husein bukanlah satu-satunya korban konflik. Diperkirakan sedikitnya 1.200 anak Timor Timur telah terpisah dari orangtua mereka (separated children). Mereka terpisah dari orangtua masing-masing saat terjadi pengungsian besar-besaran akibat konflik setelah jajak pendapat 1999. Di antara pengungsi anak-anak itu hanya 208 yang berhasil diidentifikasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memberi mandat kepada United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), badan PBB yang mengurusi pengungsi, untuk mempertemukan kembali anak-anak itu dengan orangtua mereka. Terutama anak-anak yang sekarang berumur di bawah 18 tahun. Apalagi 58 orang sudah melapor telah kehilangan anak mereka. Mereka juga sudah menyampaikan permohonan resmi agar anak-anak mereka bisa dipulangkan secepatnya.

Menurut pihak UNHCR, mayoritas anak-anak itu berada di bawah asuhan Octavio Soares dari Yayasan Hati, Roberto Freitas dan Dominggus Lopez Guterrez alias Abdul Fattah dari Yayasan Lemorai. Sebanyak 26 anak lagi berada di bawah pengawasan perseorangan. Tidak semua anak ditampung dan dirawat sendiri oleh yayasan itu. Sebagian dititipkan ke berbagai panti asuhan dan pondok pesantren.

Yayasan Hati menitipkan anak-anak itu ke sejumlah panti asuhan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di antaranya pada Panti Asuhan Santo Thomas Jimbaran (73) dan Gedang Anak (16), Brayat Pinuji Kulon Progo (5), Santa Maria Kulon Progo (6), Taman Anak Bangsa Wonosari, Gunungkidul (46), dan Pangrekso Dalem Temanggung (21). Dari tempat-tempat penampungan itu sudah sepuluh orang dipersatukan kembali dengan orangtua mereka. Menurut pihak UNHCR, sisanya dibawa dan ditinggalkan di Yogyakarta oleh sang ketua yayasan Octavio Soares.

Selain di tempat tersebut, sebelas anak asal Timtim juga ditampung di Panti Asuhan Tunas Kalimantan, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Tiga di antara mereka telah dipersatukan kembali dengan orangtua mereka di Dili, 27 Juni lalu.

Anak-anak yang diasuh Yayasan Lemorai, umumnya dititipkan ke panti asuhan muslim dan pondok pesantren jaringannya di wilayah Jawa Barat, Sulawesi Selatan. Sebagian lagi dititipkan di Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sumbawa Besar. Rinciannya, di Panti Asuhan Baitul Muh’taddin Sumedang (22), Ibnu Taimiyah, Bogor (5), Muhammadiyah Sumur Batu, Bandung (2), Sartika Kopo, Bandung (2), Al Zaitun, Cirebon (8), Al Anshor Timtim, Makassar (60), Mamuju (15), Malili, Palopo (25), At Thoifah Al Masruroh, Kediri (6), Muhammadiyah, Madiun (7), Plampang, Sumbawa Besar (20), serta Sungai Lilin, Musi Banyuasin (19).

Sejumlah yayasan menolak menyerahkan anak-anak itu meskipun program reunifikasi tidak memaksa mereka pulang ke Timor Timur.

“Pertemukan dulu anak itu dengan orangtuanya. Mau kembali lagi ke yayasan tidak masalah, asalkan bapak ibunya mengizinkan,” tutur Kemala Anggraini Ahwil, staf hubungan eksternal UNHCR.

Sejumlah yayasan menuding UNHCR ikut campur urusan dalam negeri Indonesia. Seperti diakui Bakri Beck, Kepala Biro Penyelamatan dan Perlindungan Pengungsi Bakornas. “Yayasan kadang-kadang bersikeras. Alasan mereka anak-anak itu masih betah, reunifikasi cuma maunya orang luar, serta alasan-alasan yang sebetulnya tidak pas,” ungkap Bakri. Mengapa?

“UNHCR itu banyak bohongnya,” kata Hasan Basri sedikit emosi. Ia mengaku tidak bisa menerima argumentasi UNHCR. Ia mencontohkan kasus Chairuddin Nunez, salah satu anak asuh Lemorai, yang disebutkan ayahnya meninggal tiga bulan lalu. Ibu Chairuddin konon sembari menangis meminta agar ia lekas pulang ke Timor Timur. Sementara itu, Chairuddin mengaku ayah dan ibunya sudah meninggal dunia sejak ia masih kanak-kanak. “Orangtua saya sudah lama mati,” tuturnya sembari menyeka keningnya yang dibasahi keringat sepulang sekolah.

Hasan Basri yang sehari-hari beternak ayam, berdagang koran, tasbih, hingga baju koko, tidak habis pikir pada tudingan islamisasi yang dilontarkan kepada yayasannya. Semua anak di yayasannya adalah mualaf (baru memeluk Islam). Menurut dia, selama 450 tahun dijajah Portugis, setengah lebih masyarakat Timor Timur penganut jintiu atau animisme. Agama apa pun namanya di sana sifatnya pendatang, sama-sama berhak mempunyai penganut, asalkan tidak melalui pemaksaan.

“Anak-anak itu semuanya mualaf. Tidak ada yang sejak awal muslim. Saya juga baru umur 18 tahun muslim,” tutur Abdul Fattah, orang kepercayaan Hasan Basri. Fattah mengaku ia awalnya menentang keras syiar Islam di Waitame.

Yang menyakitkan Hasan Basri yaitu tudingan bahwa yayasannya menelantarkan anak-anak. Kehidupan serba pas-pasan di yayasan, menurut Hasan, bukan berarti bahwa anak-anak itu tidak diurus. Ia menyebutkan adanya bantuan dalam jumlah cukup untuk membiayai sekolah mereka. “Kalau pulang ke Timor Timur apakah mereka bisa tetap sekolah?”

Hasan Basri juga dituding memanfaatkan anak-anak itu untuk keperluan yayasan dalam mencari dana. “Kalau Lemorai mengaku bekerja untuk kemanusiaan, seharusnya mereka menyetujui sikap kami untuk mempertemukan anak-anak itu dengan orangtua mereka,” kata Eri Jaya, staf UNHCR yang menangani reunifikasi. Eri menegaskan bahwa misi UNHCR bukan politis, tetapi semata-mata untuk kemanusiaan.

Hasan Basri tampaknya berketetapan hati tidak mau pulang ke bumi Lorosa’e. Ia memilih menjalani hidup di desa kecil dan terpencil, Dusun Babakan, Desa Gunung Manik, Tanjungsari, Sumedang. Barangkali bagi Hasan Basri itulah masa depan yang layak diperjuangkan. Tetapi, bagaimana dengan Saddam Husein dan anak-anak lainnya yang telah tahunan tidak menatap wajah ayah ibu kandung mereka?*