Benvindo Aze Descart

Tempat asal: Los Palos

Tanggal lahir: 21 November 1986

Nama orangtua: Let.Kol. Aluc Descartes (Ayah), Komandan Falintil di daerah timur selama periode pendudukan; Olinda Morais (Ibu)

Aluc Descartes (Ayah):

Terluka

Benvindo Aze Descart

Benvindo Aze Descartes (Shalih Zeromon Miranda Rahman)

‘Pada bulan Maret 1988 saya terluka ketika perang. Istri saya, Olinda Morais, dan anak kami yang masih berumur 17 bulan, Benvindo, hidup bersama saya di hutan. Setelah terluka, menjadi sangat sulit bagi saya untuk merawat Benvindo karena persediaan makanan dan air yang terbatas. Karena itu, kami memutuskan untuk mengirim Benvindo ke kota Los Palos untuk dirawat oleh saudara yang tinggal di sana. Saya sematkan sebuah surat bertuliskan nama dan tanggal lahirnya, walaupun surat tersebut tidak menyebutkan bahwa ia adalah anak saya karena hal itu bisa sangat membahayakan. [Tentara Indonesia sering menahan anak-anak dari tentara lawan, terutama anak komandan, lalu diambil untuk diadopsi.] Saya juga mengatakan bahwa, jika keluarga saya tidak bisa merawatnya, mereka harus menyerahkannya ke gereja. Jadi, anak buah saya membawa Benvindo ke kota dan menyerahkannya kepada ayah dan adik perempuan saya.

Diculik

‘Nantinya saya mendengar kabar tentang apa yang terjadi, termasuk dari ayah saya yang meninggal pada bulan November 2003.

‘Kolonel S adalah seorang komandan distrik pada masa itu. Ia tahu bahwa seorang anak dibawa pejuang dari hutan ke kota. Ia lalu mengirim tentaranya ke rumah saya dan memerintahkan ayah dan adik saya untuk membawa Benvindo ke Kodim. Kolonel S berkata kepada ayah saya bahwa Bervindo bukan cucu kandungnya, dan ketika ayah saya mencoba menyangkal, Kolonel S mengancam akan membelah Benvindo menjadi dua. Jadi, ayah saya tidak punya pilihan selain menyerahkan Benvindo kepada Kolonel S. Seminggu kemudian dua tentara memanggil ayah saya ke pos militer. Kolonel S berkata, “Lebih baik saya yang merawat cucumu. Di masa depan ia dapat menolong kita semua.” Setelah itu ayah dan adik saya diizinkan menjenguk Benvindo, tapi tidak diperbolehkan membawanya pulang. Mereka terus menjenguk Benvindo hingga tahun 1989 ketika Kolonel S dipindahkan ke Ainaro. Pada akhir tahun 1990 atau 1991, Kolonel S kembali ke Bali.

‘Pada tahun 1990, istri saya, ibu Benvindo, menyerahkan diri di Los Palos. Seorang tentara Indonesia memberitahu istri saya bahwa Benvindo ada di Bali bersama Kolonel S dan, untuk istri saya, sang tentara menelepon Kolonel S. Lalu Kolonel S mengundang istri saya ke Bali, tapi ia tidak bisa pergi karena tidak bisa berbahasa Indonesia. Istri saya meminta foto Benvindo, yang Kolonel S kirimkan padanya, lengkap dengan alamat tempat ia tinggal. Istri saya meminta Palang Merah Internasional untuk mencari keberadaan Benvindo, tapi tanpa hasil. Setelah tahun 1991 ia kehilangan kontak dengan Kolonel S.

Benvindo's mother, 1990

Ibunya Benvindo, 1990, dengan anak lagi

Keterangan gambar: Ibu Benvindo, Olinda Morais, bersama anak keduanya, East Timor: Repression and resistance, A review of the 15th year of Indonesian occupation, A Paz e Possivel em Timor-Leste, Lisbon, Juli 1991.

Reuni

‘Pada bulan Juli 2003, secara tidak sengaja, kami mendengar bahwa kerabat dari komandan yang menggantikan Kolonel S pada tahun 1989 tinggal di Dili. Kerabatnya ini menolong kami mengontak tentara yang menggantikan Kolonel S. Yayasan Alola di Dili juga membantu dengan mengirim E-Mail kepada Kolonel S. Saya mendengar bahwa Kolonel S ingin agar saya menulis surat padanya. Saya lalu menulis sebuah surat, dan sebagai bukti saya mengirim foto Benvindo yang ia kirimkan kepada istri saya pada tahun 1991.

‘Kemudian kami berbicara lewat telepon dan Kolonel S mengundang saya untuk datang ke Jakarta. Sebagai komandan batalion Falintil, sulit bagi saya untuk pergi. Jadi, saya mengundang Kolonel S untuk datang ke Timor Leste, tapi ia tidak mau. Ia pikir, orang Timor Leste pasti akan marah padanya. Jadi, saya dan istri memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Kami pergi pada tanggal 25 September 2003 dan kami tinggal di rumahnya selama lima hari.

‘Kolonel S meminta maaf kepada kami karena telah mengambil Benvindo. Ia mengatakan bahwa ia merawat Benvindo dengan baik dan ia mencukupi semua kebutuhannya. Ia mengakui bahwa ia mengganti nama Benvindo. Ia juga bilang bahwa, jika kami mau, kami dapat membawa Benvindo kembali ke Timor Leste. Itu adalah keputusan kami. Bagaimanapun, kami datang ke Jakarta bukan untuk membawa Benvindo ke Timor Leste, tapi untuk menunjukkan kepada Benvindo bahwa kami adalah orangtua kandungnya.

Kejutan

‘Sebelum kami tiba di Jakarta, Kolonel S memberitahu Benvindo bahwa orangtua kandungnya akan datang untuk menjenguknya. Kolonel S selalu mengatakan pada Benvindo bahwa Benvindo adalah anak kandung mereka. Saat itu Benvindo berumur 16 tahun. Awalnya, Benvindo tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Pada hari kedua kami di sana, istri saya mencoba berbicara dengannya dalam bahasa Indonesia. Pada hari keempat terlihat ada perubahan pada sikap Benvindo. Ia mulai percaya bahwa kami memang betul-betul orangtua kandungnya. Sebelum kami pulang, ia memanggil kami ‘Ayah’ dan ‘Ibu’, dan berkata kepada kami, “Tolong siapkan tempat untuk saya di meja makan setiap hari.”

‘Selama kunjungan kami, istri saya banyak menangis. Saya yakin Kolonel S melihat bagaimana sulitnya bagi istri saya untuk pergi dan melepaskan anak kami. Dapatkah Anda bayangkan apa yang kami rasakan? Kami tidak pernah melihatnya sejak ia berumur 17 bulan. Sekali lagi Kolonel S berkata bahwa kami dapat membawa Benvindo kembali ke Timor Leste. Namun, ia juga berkata, jika kami membawanya, Benvindo bisa putus sekolah dan ia akan menyalahkan kami, orangtuanya. Jadi, saya katakan kepada Kolonel S bahwa ia harus terus merawat Benvindo dan menyekolahkannya.

Mencangkok pohon

‘Pada bulan Mai 2005 Kolonel S meninggal, dan pada tahun 2007 Benvindo kembali ke Timor Leste, tempat ia sekarang tinggal.’

Sedikit hasil wawancara pada tahun 2009 oleh Radio Belanda. Baca (Bahasa Belanda)

“Saya tidak pernah menduga bahwa orangtua saya bukanlah orangtua saya. Setelah saya masuk SMA saya mulai bertanya kepada diri saya sendiri, mengapa kulit saya begitu gelap dibandingkan saudara-saudara saya yang lebih tua, dan mengapa rambut saya begitu keriting.

Ketika saya mendengar kenyataan mengenai keluarga saya, saya tidak percaya.

Rasanya saya seperti sebuat pohon yang dicangkok.

Tetapi, kedua ayah saya, yang dulunya musuh sekarang menjadi sahabat.”

Diwawancarai Radio Nederland:

Benvindo Aze Descart

Benvindo Aze Descart, Shalih Zeromon Miranda Rahman, Timor-Leste, 2009 (Foto: Aboeprijadi Santoso)