Tempat asal: Ponilala, Ermera
Nama keluarga: Filamena dos Santos (Kakak); Maria Imaculada Martinz (Ibu)
Filamena dos Santos (Kakak perempuan):
‘Kami enam bersaudara, dengan saya sebagai anak tertua nomor dua. Saya waktu itu berumur 15 tahun ketika tentara Indonesia dari batalion 315 mengambil kedua adik terkecil saya, Agusta (8) dan Madelina (7). Ayah kami meninggal terbunuh oleh kelompok Fretilin pro-kemerdekaan sesaat sebelum invasi. Ia adalah mantan anggota UDT. [1] Ibu kami, Maria Imaculada Martinz meninggal pada tahun 1979.
‘Pada waktu itu kami tinggal di kamp Aifu. Banyak orang terpaksa tinggal berimpitan di gudang kedai kopi yang ada di sana. Tentara-tentara yang mengambil adik-adik saya dulu sering datang berkunjung ke sana dengan membawa permen, biskuit, baju dan sepatu.
Paksaan dan izin
‘Suatu hari beberapa tentara datang mengunjungi ibu saya untuk berdiskusi tentang membawa anak-anak saat mereka pulang ke Indonesia. Mereka datang memakai seragam dan bersenjata. Secara tidak langsung mereka memaksa Ibu untuk menyerahkan adik-adik saya kepada mereka. Senjata dan kata-kata mereka membuat Ibu takut. Tentara-tentara itu memberitahu Ibu bahwa ia tahu apa yang dapat terjadi seandainya ia tidak menyerahkan adik-adik saya. Ibu hanya memperingatkan saya untuk tidak pernah membicarakan hal ini. Mungkin ia memberikan anak-anaknya karena tentara-tentara itu bisa saja membunuhnya atau mungkin ia harus melakukan itu untuk melindungi anak-anak perempuannya yang lebih besar dari tentara-tentara tersebut. Saya tidak tahu, tapi sejak itu ia selalu terlihat sedih.
‘Tentara-tentara itu membawa surat penyerahan anak yang harus Ibu tandatangani. Dengan tanda tangannya Ibu memberi tentara-tentara itu izin untuk membawa adik-adik saya ke Indonesia, untuk diadopsi dan dididik oleh mereka. Tentara-tentara tersebut berjanji pada ibu bahwa mereka akan mengembalikan adik-adik saya setelah mereka menyelesaikan pendidikan. Komandan militer lokal dan pemimpin sipil (sub-distrik dan kepala desa) menandatangi surat tersebut selaku saksi. Surat tersebut hilang pada tahun 1999 ketika rumah kami dirusak oleh pihak milisi.
‘Satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah situasi perang pada saat itu. Para tentara itu bak tuhan. Jika mereka meminta seorang anak, Anda tak punya pilihan lain selain menyerahkannya dan menandatangani surat yang disodorkan. Tak hanya itu, mereka pun membuat Anda takut. Tanpa Ayah, Ibu tentu kesulitan untuk membesarkan kami semua. Banyak orang yang tewas akibat kelaparan, termasuk anak-anak. Jadi, mungkin Ibu juga melihat hal itu sebagai jalan untuk membantu kelangsungan hidup Agusta dan Madeline.
‘Tapi, saya tidak tahu mengapa para tentara ingin mengambil mereka. Mungkin karena Ayah tewas terbunuh oleh Fretilin. Memang ada banyak anak yang diambil dari Aifu oleh para tentara. Mereka mengangkut anak-anak itu dengan truk. Agusta dan Madeline duduk di bangku depan, mereka semua menangis.
Lihat juga: Luis Manuel Maya dan Agusta Fatima Babo dan Cristovão
Kunjungan ke Dili
‘Suatu waktu Ibu dan saya medapatkan izin dari komandan distrik militer (Kodim) untuk pergi ke Dili mengunjungi adik-adik saya di basis militer Taibesi. Kami mendapat surat jalan untuk empat hari dan berangkat dengan menumpang di bagian belakang truk militer yang mengangkut kopi dari Ermera ke Dili. Kami pun menginap di rumah saudara. Setiba di basis militer kami ternyata tidak diizinkan masuk untuk melihat adik-adik saya. Seorang keturunan Timor Leste yang bekerja bagi para tentara memberitahu kami bahwa mereka sebenarnya ada di sana. Kami pun memutuskan untuk pulang dan mencoba kembali di hari berikutnya hanya untuk diberitahu bahwa batalion itu sudah pergi dengan membawa serta Agusta dan Madelina.
Kontak
‘Kami tidak melihat mereka pergi. Tentara-tentara tersebut berjanji akan menulisi kami surat. Janji yang tak pernah mereka penuhi. Kami tidak menerima berita apa pun dari adik-adik saya selama 25 tahun, hingga saat Referendum.
‘Akhirnya Madelina kembali ke Timor Barat bersama suaminya, Hermansia, yang adalah seorang tentara dari Sumatra. Saat itu banyak orang dari Ermera yang lari ke Timor Barat seusai Referendum. Hermansia dan Madelina mengirim surat dan foto: Satu foto dia dengan kakaknya dan satunya lagi mereka berdua dengan suami masing-masing.
‘Memang pada tahun 1977 kami sempat mendengar bahwa tentara yang mengambil mereka menyerahkan mereka kepada keluarga militer lain untuk dipelihara, tapi kedua adik saya itu tetap saling berhubungan. Keduanya kini telah menikah dan mempunyai anak. Ketika kami menelepon Agusta melalui nomor yang diberikan Madelina, ia menanyakan Ibu, tapi kami tidak sampai hati memberitahunya bahwa Ibu sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Dua kali kami sempat mengontak Madelina, tapi kemudian nomornya yang di Kupang tidak dapat dihubungi lagi. Kami dengar Hermansia ditugaskan ke Medan, Sumatra. Sementara itu, kami pun kehilangan kontak dengan Agusta.
‘Hingga kini keluarga kami masih berharap bahwa mereka akan menghubungi kami lagi suatu hari nanti.’
____________________________________________________
1. UDT pada awalnya ingin supaya tetap ada hubungan dengan Portugal, tapi nantinya memilih integrasi dengan Indonesia. Lihat Bagian ke-3.7 Laporan CAVR Chega! Sejarah Konflik, Konflik bersenjata internal.