Floriana da Conceicão

Tempat asal: Fahiten, Tibar (dekat Dili)

‘Saya dikirim ke Panti Penyantunan Anak Taruna Negara (PPATN) pada bulan Oktober 1976, ketika saya baru berusia dua tahun. Waktu itu kami berlima, semuanya anak-anak dari keluarga Conceicão di Tibar. Selain saya ada kakak laki-laki saya yang berusia tujuh tahun dan tiga orang sepupu. Pada bulan Desember 1976 ada lagi enam anak yang dikirim ke lembaga pengasuhan anak SOS Kinderdorf di Bandung; tiga di antaranya ialah sepupu saya, yang juga datang dari keluarga Conceicão.

Kunjungan Gubernur Mario Carrascalão

‘Pada tahun 1984 Gubernur Timor Timur, Mario Carrascalão, mengunjungi PPATN dan panti-panti milik Kinderdorf. Kira-kira waktu itu ada 40 anak Timor Timur di Bandung dan kami semua diundang untuk bertemu dengannya.

‘Saking senangnya karena Pak Gubernur mengunjungi kami, kami pun menangis. Ia menghadiahkan gitar dan alat-alat musik sambil berkata bahwa orang Timor Timur harus pandai menyanyi. Sebenarnya, sebelum kunjungan ini kami tidak pernah bicara soal Timor Timur di PPATN. Kami takut untuk bertanya dan satu-satunya hal yang kami tahu adalah ada perang di sana sehingga kami dikirim ke Bandung. Kakak laki-laki dan sepupu-sepupu saya tak pernah memberitahu saya apa-apa. Di sana kami belajar bahasa Sunda dan berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan di Jawa Barat. Saya rasa, lebih mudah bagi saya untuk beradaptasi ketimbang beberapa anak lainnya karena saya tidak punya ingatan akan Timor Timur. Namun, setelah kunjungan Pak Gubernur, kami mulai berbicara dalam bahasa Tetun serta mengingat kembali keluarga kami dan tempat-tempat dari mana kami berasal.

‘Kunjungan oleh Pak Gubernur ini menjadi kejutan bagi saya dan keenam sepupu Conceicão saya di Bandung. Ketika kami berkumpul untuk bertemu dengan Pak Gubernur, kami yang tinggal di PPATN bertemu dengan sepupu-sepupu yang tinggal di Kinderdorf. Saya tidak mengenali mereka lagi karena saya dulu masih begitu kecil untuk dapat mengingat mereka. Namun, sepupu-sepupu yang lebih tua langsung mengenali saya. Kami tidak tahu bahwa selama tujuh tahun itu kami hidup begitu dekat satu sama lain, pada kedua lembaga tersebut. Tak ada yang pernah memberitahu kami.

Pulang kampung

‘Pak Gubernur telah berjanji untuk mengirim kami pulang selama liburan ke Timor Timur untuk menengok keluarga kami. Jadi, kami pun mulai membayangkan bagaimana rasanya pulang kampung. Kami begitu bersemangat dan para staf di panti lalu membantu mengepak barang-barang kami.

‘Pulang kampung ini ternyata menjadi suatu hal yang penting untuk memahami diri kami sendiri dan untuk mengingat identitas Timor Timur kami. Semua anak Timor Timur dari Kinderdorf dan PPATN pulang kampung untuk bernatalan bersama keluarga pada tahun 1984. Sesampainya di sana kami diantar ke Panti Asuhan Seroja, tempat semua keluarga kami telah menanti. Kebanyakan anak berasal dari Dili, kendati beberapa tinggal di Viqueque. Inilah kali pertama saya bertemu dengan dua kakak laki-laki saya yang lain. Lalu, kami semua diundang untuk berkunjung ke kediaman Pak Gubernur dan istrinya. Kunjungan kami ke Timor Timur sebenarnya hanya sebulan, tapi lalu diperpanjang selama seminggu. Seorang anak dari PPATN akhirnya tidak ikut kembali ke Bandung. Ia jatuh sakit dan meninggal beberapa tahun sesudahnya.

‘Setelah kunjungan itu saya mulai rajin menulis surat kepada keluarga saya di Timor Timur dan, pada tahun 1988, kami kembali diberi kesempatan untuk pulang kampung. Sayangnya, pada tahun itu saya baru saja tamat SMP. Salah satu syarat untuk bisa masuk SMA adalah mengikuti penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang diujikan sesudahnya. Penataran dan ujian ini berlangsung saat liburan sekolah sehingga saya pun tidak diizinkan ikut pulang kampung untuk kedua kalinya.

‘Setelah tamat SMA saya mendapatkan beasiswa dari Timor Timur untuk kuliah di perguruan tinggi. Sayangnya, setelah semester keempat saya terpaksa berhenti akibat suatu kendala. Saat itu saya masih tinggal di PPATN sampai tahun 1991. Pada tahun 1995 saya memutuskan untuk pulang ke Timor Timur. Hanya saja, itu ternyata tidak mudah karena saya sudah terbiasa hidup di kota besar. Rasanya Dili begitu berbeda dari Bandung. Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke Bandung, tempat saya mendapatkan pekerjaan tetap. Pada tahun 2003, dengan uang tabungan saya memutuskan untuk berkunjung ke Timor Timur. Ini adalah perjalanan ketiga saya dan terasa jauh lebih mahal karena saya harus menunjukkan paspor dan membayar pajak.

‘Kendati tidak pulang untuk menetap di Timor Timur, saya tetap ingin menjaga hubungan dengan keluarga saya di sana. Kakak laki-laki saya telah menikah dan saat ini tinggal di Bandung. Di sinilah rumah saya sekarang.’

Lihat informasi tentang panti PPATN dan juga keluarga Conceicão.