João da Costa

Tempat asal: Buruma, Baucau

Tanggal lahir: 9 Maret 1979

Ia adalah seorang peserta dalam program Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) antara tahun 1996-1999, yang diorganisasi oleh Mbak Tutut, putri tertua mantan Presiden Indonesia, Soeharto.

‘Saya pertama kali mendengar tentang program Depnaker itu dari seorang teman yang telah dikirim ke Makassar dan dijanjikan akan mendapatkan pekerjaan. Namun, sesampainya di sana ia ditelantarkan. Setelah enam bulan ia kembali ke Baucau.

‘Pada tahun 1995 saya menamatkan sekolah di Dili dan kembali ke Baucau. Tak lama kemudian seorang paman saya, yang bekerja sebagai prajurit di sebuah pangkalan Komando Rayon Militer (Koramil) di Baucau, bolak-balik mengundang saya ke rumahnya dan menyuruh saya mendaftar ke program Depnaker itu. Saya tidak mau karena telah mendengar cerita teman saya itu. Paman saya tahu bahwa saya terlibat dalam gerakan bawah tanah dan kuatir tentang apa yang akan terjadi bila saya menolak. Ia telah diminta oleh atasan-atasannya untuk memastikan saya mendaftarkan diri pada program tersebut.

‘Beberapa saat kemudia ia datang ke rumah saya dengan membawa serta sejumlah formulir untuk saya isi. Lalu ia membawa saya ke pangkalan militer. Sebelum menyerahkan formulir itu, saya telah memotokopinya dan mengubah nama saya menjadi “Abel da Costa”. Pada waktu itu saya takut akan kena masalah apabila mereka tahu apa yang telah saya lakukan. Ketika saya menyebutkan nama saya, paman tidak berkomentar apa-apa. Di Sulawesi, tempat saya dikirim, semua orang memanggil saya “Abel”.

‘Saya hanya menceritakannya kepada orangtua saya setelah pendaftaran. Mereka sebenarnya tidak ingin saya pergi, namun saya merasa ada di bawah tekanan dan tidak dapat mengelak.

‘Komando Distrik Militer (Kodim) lalu mengatur agar 30 peserta dari Baucau berangkat ke Dili. Kami tinggal di pangkalan ABRI di Akadiruhun, Dili. Para pejabat militer berjanji bahwa kami akan mendapatkan pekerjaan dengan gaji dan tempat tinggal yang baik di Indonesia. Kami pun diberi pelatihan semi-militer yang disebut-sebut sebagai “FMD“ atau “Fisik, Mental, Disiplin“. Selama pelatihan ini kami harus bangun pukul tiga dini hari untuk latihan lari. Tak hanya itu, kami pun diwajibkan berolahraga dan ikut latihan parade. Kami harus menyanyikan lagu nasional Indonesia dan diharuskan menari, meski itu hanya di kalangan mereka saja – tidak ada orang luar yang diundang. Dan, kami pun diberi pemeriksaan kesehatan.

‘Tak berhenti sampai di situ, kami pun harus mengikuti sejumlah kuliah. Para pelatih militer dari Batalion 744 memberitahu kami bahwa kami terpilih untuk dikirim karena kami “terlantar dan keras kepala“. Mereka pun menanyai saya apakah saya turut serta dalam demonstrasi Santa Cruz dan ingin tahu apa saja yang saya tahu tentang Fretilin. Mereka bilang bahwa mereka tahu segala sesuatu tentang saya, jadi saya harus mengatakan yang sebenarnya. Saya ketakutan meskipun tidak ada tindak kekerasan fisik. Saya tidak terlibat dalam demonstrasi Santa Cruz, namun saya bekerja bagi gerakan bawah tanah di Baucau.

‘Disiplin militer itu sangat ketat. Ketika kami sedang mengikuti parade, para prajurit itu memukul dan menendang kami jika kami salah langkah saat baris-berbaris. Salah seorang teman sekelompok kami pingsan ketika ditendang di bagian dadanya oleh seorang prajurit bersepatu lars. Saya dan teman-teman ketakutan, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kami mau tidak mau harus menerimanya.

‘Saya tahu bahwa beberapa teman saya ingin keluar dari pelatihan tersebut, tetapi kami tidak bisa. Para tentara itu mengatakan bahwa bila kami melakukannya, itu berarti kami adalah anggota Fretilin atau mata-mata.

‘Seorang pastor Katolik datang untuk mengajar kami sebagai bagian dari pelatihan moral. Ketika kami pergi mengikuti misa dan sang pastor sendirian bersama kami, ia berkata bahwa ia mengerti bahwa meninggalkan Timor Leste bukanlah hal yang kami inginkan. Keputusan politislah yang membuat kami harus pergi. Ia lalu memberi kami semua sebuah Alkitab dan mengingatkan kami untuk tidak melupakan agama kami.

‘Pada tahun itu, saya perkirakan ada sekitar 75 orang peserta pelatihan: 30 dari Baucau, 40 dari Dili, dan 5 dari Same. Dari Baucau ada lima orang wanita dan sisanya pria, semuanya di bawah usia 25 tahun. Waktu itu saya masih berusia 17 tahun dan saya ingat adanya beberapa peserta yang lebih muda daripada saya, di antaranya berusia 15 tahun. Pada tanggal 14 September 1996 ada 25 orang dari kami yang dikirim ke Ambon. Dua orang staf Depnaker dan seorang prajurit tak berseragam turut berangkat dengan kapal bersama kami. Adelfonso, teman kami, mencoba melarikan diri ketika akan diberangkatkan. Ia mundur ke belakang ketika kami semua dinaikkan ke kapal, berharap ia akan terlewatkan. Namun ia akhirnya ditangkap oleh si prajurit tak berseragam dan dipaksa naik kapal. Setelah itu Adelfonso diinterogasi dan hal ini membuat kami semua takut. Kami dibayar Rp30.000,- untuk pelatihan selama seminggu dan Rp90.000,- begitu naik kapal.

‘Ketika kami tiba di Makassar, sejumlah perwakilan dari Depnaker, kepolisian dan tentara dari distrik dan sub-distrik telah menanti kapal kami. Kami semua disuruh berbaris seperti prajurit yang sedang berparade. Lalu kami dibawa ke pusat pelatihan Depnaker, tempat kami tinggal dan menerima pelatihan FMD selama seminggu – kali ini diorganisasi oleh pihak kepolisian sehingga tidak begitu keras. Setelah itu kami diperbolehkan memilih untuk mengikuti satu dari beberapa jenis pendidikan, yakni bangunan, listrik, pengelasan, dsb. Saya memilih pelajaran bangunan. Selain kami, ada sejumlah peserta lain, tak hanya orang dari Timor Leste. Nantinya kami menerima sertifikat setelah menyelesaikan pendidikan itu.

‘Setelah masa pelatihan, kami dikirim selama tiga bulan untuk mengumpulkan pengalaman kerja di pabrik-pabrik yang berkaitan dengan pendidikan kami. Saya sendiri dikirim bersama beberapa orang ke sebuah pabrik di Palopo, sekitar 10 jam berkendara dari Makassar. Di sana kami tinggal di asrama yang disediakan oleh pihak pabrik bagi para pekerjanya. Perjalanan menuju pabrik dan tempat tinggal ini diatur oleh Depnaker tingkat provinsi dan kotamadya/kabupaten. Setelah tiga bulan kami pun kembali ke Makassar. Bagaimanapun, tidak ada pekerjaan bagi kami seperti yang dijanjikan sebelumnya dan staf Depnaker tidak menolong kami untuk menemukan pekerjaan. Kami masih menerima sedikit uang meski tak cukup untuk membeli makanan. Saya masih cukup beruntung karena saya diberi tempat tinggal, yang saya tempati bersama dua orang lain dari Baucau, yakni kamar di belakang sebuah rumah milik seorang kolonel. Ia membantu kami menemukan pekerjaan setelah beberapa bulan. Sang kolonel meminta beberapa manajer asing dari sebuah pabrik untuk menerima kami. Kami pun menerima gaji Rp150.000,- per bulan. Banyak dari antara teman-teman kami yang mendapat kerja di pabrik-pabrik di Makassar yang dimiliki oleh Mbak Tutut, putri mantan Presiden Indonesia itu.

‘Setelah beberapa waktu saya bertemu dengan beberapa mahasiswa asal Timor Leste yang tinggal di Sulawesi dan sekali lagi saya terlibat dalam gerakan bawah tanah. Kami agak lebih bebas daripada di Timor Leste. Para tentara Indonesia (dari Lanud 700) sering kali mengajak kami bicara. Mereka biasanya bertanya apakah kami pro pada integrasi atau kemerdekaan. Mulut saya berkata bahwa saya 100% mendukung integrasi meskipun dalam hati saya bertanya, untuk apa integrasi? Sejak 24 Maret 1999 kami mulai kembali ke Timor Leste untuk membantu persiapan referendum. Ada 45 dari 50 orang muda yang awalnya dikirim ke Sulawesi pada tahun 1996 yang kembali bersama saya ke Timor Leste pada waktu itu. Saya rasa, masih ada lima orang lagi yang tinggal di Sulawesi.’