Training dan pekerjaan

Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Mbak Tutut), putri tertua dari mantan presiden Indonesia, Soeharto, membangun sebuah program pada awal tahun 1990an. Program ini memberikan pelatihan dan pengalaman kerja di Indonesia bagi pemuda-pemudi yang menganggur, yang sebagian di antaranya baru berusia 15 tahun. Yayasan Tiara yang Mbak Tutut dirikan itu bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) yang mengirimkan ratusan pemuda-pemudi ke Indonesia – yang pada tahun 1995 saja ada 500 orang – sampai akhirnya program ini berakhir pada tahun 1996.

Tujuan

Adapun tujuan program ini adalah memecahkan masalah pengangguran di antara kaum muda di Timor Timur, yang telah dididik oleh Indonesia. Diketahui ada banyak anak muda yang dengan antusias mendaftarkan diri dalam program tersebut. Hanya saja, pihak militer lalu mengambil peran langsung dalam rekrutmen, khususnya pasca-pembantaian massal di Pemakaman Santa Cruz pada bulan November 1991. Diperkirakan ada sekitar 270 orang muda yang tewas dalam kejadian itu (CAVR 2006: 3. 18 No. 483). Pengangguran di antara kaum muda dipandang sebagai alasan mengapa banyak anak muda yang turut serta dalam berbagai demonstrasi dan aktivitas bawah tanah. Karena itu, pihak tentara menyuruh anak-anak muda yang dicurigai untuk mendaftar dan mereka tidak berani menolak untuk berpartisipasi.

Janji tidak dipenuhi

‘Yayasan Tiara ternyata tidak memenuhi janjinya kepada anak-anak muda itu. Alih-alih diberi pelatihan dan pengalaman kerja, mereka menjadi pekerja kasar di pabrik-pabrik. Dalam beberapa kasus, atasan di pabrik-pabrik itu diminta oleh pihak militer untuk mengangkat anak-anak muda yang kurang terampil menjadi staf pabrik. Yayasan Tiara memang mendukung beberapa anak muda untuk mengikuti pelatihan jangka pendek, tapi tanpa menyediakan tiket pulang – yang sesuai dengan salah satu tujuan program tersebut, yakni mengeluarkan mereka dari Timor Timur. Dengan demikian, hanya mereka yang mampu yang dapat pulang kampung. Oleh karena itu, pada tahun 1999 banyak anak muda yang mendaftarkan diri pada UNHCR untuk dikembalikan ke Timor Timur, kendati ada beberapa yang tetap tinggal di Indonesia dan terus bekerja di pabrik.

‘Seperti pemindahan (transfer) lainnya, para penyelenggara barangkali punya niat yang baik. Akan tetapi, cara mereka mentransfer anak muda – termasuk yang masih anak-anak – dan, khususnya, keterlibatan pihak militer malah mengundang kecurigaan dan menciptakan jarak antara orang Timor Timur dan orang Indonesia. Tampaknya, perhatian utamanya bukan terletak pada kesejahteraan dan kemajuan peserta program, melainkan sejumlah tujuan politis sang rezim.’

Baca juga kisah João da Costa

Tautan sumber (bahasa Inggris):
Deception and harassment of East Timorese workers,’ Jones, Sidney, Human Rights Watch, 4 (16) 1991.

‘Indonesia: Charges and rebuttals over lavor rights practices,V. Forced labour, East Timorese Workers,’ Asia Watch, Vol. 5, No. 2, January 23, 1993.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *